Korupsi dalam Konteks Sejarah, Budaya dan Hukum

Korupsi dalam Konteks Sejarah, Budaya dan Hukum


Pengantar
Berbicara mengenai “korupsi” tidak bisa dilepaskan dari istilah dan ruang lingkup konsep tersebut. Untuk memberikan pemahaman mengenai korupsi maka perlu mengetahui pengertian/definisi korupsi dengan baik. Selain itu dibutuhkan juga pengetahuan mengenai ruang lingkup dari istilah tersebut. Demi mendapatkan pemahaman yang komprehensif, perlu dimengerti istilah korupsi dengan baik, serta pemahaman korupsi dalam berbagai konteks, seperti konteks sejarah, budaya dan hukum.
Korupsi sendiri menurut definisi yang banyak di acu, termasuk World Bank dan UNDP, adalah “ The abuse of public office for private gain”. Dalam arti yang luas definisi korupsi dapat diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi atau privat yang merugikan publik dengan cara-cara yang bertentangan dengan kekkuatan hukum yang berlaku (Wijayanto, 2009: 6). Difinisi ini cenderung berhubungan dengan penyalahgunaan kepercayaan yang dilakukan pejabat publik/pejabat pemerintahan. Sementara itu, penyalahgunaan kepercayaan dalam berbagai bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh disektor privat tidak termasuk sebagai korupsi.
Difinisi korupsi dari UNDP walaupun banyak diacu dan sangat membantu dalam mendifinisikan tindakan korupsi, namun belum sepenuhnya mencakup arti yang sangat luas. Definisi korupsi menurut pengertian ini cenderung fokus pada sektor publik. Sementara tindakan korupsi yang dilakukan oleh privat belum tercakup walaupun sama-sama merugikan publik.
Difinisi korupsi yang lebih memadai dan fleksibel untuk mengkategorikan tindakan korupsi yaitu difinisi yang dikeluarkan oleh Tranparansi Internasional. Difinisi korupsi diartikan sebagai “penyalahgunaan kepercayaan yang diberikan orang lain, untuk kepentingan pribadi”. Dengan mengacu pada defini ini, maka segala bentuk ilegal seperti penggelapan uang, baik yang melibatkan pejabat publik ataupun tidak bisa dikategorikan sebagai korupsi.
Disisi lain, istilah korupsi juga dapat dilihat dari berbagai konteks seperti sejarah, budaya dan hukum. Masing-masing konteks memiliki karakteristik tertentu sesuai dengan ruang lingkupnya. Konteks sejarah cenderung melihat korupsi dari sudut pandang kesinambungan historisnya. Sementara dalam konteks budaya dan hukum lebih melihat korupsi yang memiliki aspek budaya dan hukum. Oleh karena itu, perlu dipahami lebih dalam, perama,Bagaimana korupsi dalam konteks sejara?, apakah korupsi memiliki dimensi sejarah dan kesinambungan sejarah?; Kedua, bagaimana korupsi dari konteks budaya? Apakah kultur korup menjadi salah satu penyebab meluasnya kasus korupsi? ;Ketiga, bagaimana korupsi dari konteks Hukum? Apa Undang-undang yang mengatur dan  menjerat para pelaku korupsi? Siapa yang berhak dalam menegakkan korupsi tersebut?
Korupsi dalam Konteks Sejarah
Korupsi tergolong sebagai suatu tindakan penggelapan uang atau barang untuk kepentingan pribadi atau kelompok, yang merugikan kepentingan masyarakat banyak dan negara. Korupsi memiliki sejarah panjang dalam kehidupan manusia didunia. Prilaku koruptif telah ada sejak dahulu dengan modus bervariasi disetiap zamannya.
Pada tahun 1970 di era pemerintahan Soehrto, Muhamaan Hatta ditunjuk sebagai Penasihat Presiden dalam upaya pemberantasan korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa jejak-jejak korupsi sebenarnya telah ada sejak dahulu, paska Negara Indonesia mulai merdeka. Pernyataan Hatta bahwa korupsi telah membudaya di bangsa Indonesia menunjukkan pengertian bahwa Indonesia telah memiliki reputasi sebagai negara yang korup (Margana, dalam Wijayanto, 2009:417). Jika ditelusuri lebih jauh lagi, maka praktek-praktek tindakan korupsi dan penyelewengan telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka, ketika Indonesia masih dalam bentuk kerajaan dan  masa kolonial.
Praktek-praktek korupsi yang marak terjadi di Indonesia pada zaman sekarang merupakan wujud kesinambungan historis. Kesinambungan historis ini merupakan legacy (warisan) dari sistem pemerintahan yang korup yang ada pada sistem pemerintahan sebelumnya dalam sejarah Indonesia, yaitu Sistem pemerintahan feodal Jawa ala Mataram dan kombinasi Pemerintahan ala VOC yang kemudian dipertahankan pada masa kolonial Hindia-Belanda (Margana, dalam Wijayanto, 2009:424). Seperti diatakan oleh W.F. Wertheim bahwa meluasnya korupsi dan penyelewengan di Indonesia memiliki hubungan dengan feodalisme. Dalam bukunya berjudul Indonesian Society in Transition, Weirtheim menyatakan bahwa Korupsi di Indonesia antara lain bersumber pada peninggalan pandangan Feodal, yang sekarang menimbulkan “Conflicting Loyalities” antara kewajiban terhadap keluarga dan kewajiban untuk Negara (Soedarso, 2009:13).
Sementara, Kebangkrutan VOC di Indonesia menimbulkan perdebatan panjang dikalangan sejarawan yang memiliki spekulasi bahwa Korupsi dan penyelewengan sebagai penyebab kebangkrutan VOC tersebut. Lemahnya Integritas para pejabat VOC membuat tindakan penyelewengan dan korupsi terus menggerogoti dan menciptakan kehancuran di tubuh VOC pada akhir abad kedelapan belas.
Di Jawa, VOC dipandang sebagai penerus Patrimonialisme yang dipraktekkan oleh Kerajaan-kerajaan di Jawa pada abad ketujuh belas (Margana, dalam Wijayanto ,2009:245). Sistem patrimonial ini sebagai sistem pemerintahan yang dominan di Indonesia sejak dahulu, seperti apa yang disebut Max Weber sebagai Patrimonial Bureaucratic State (Negara Patrimonial Birokrasi.) Sistem pemerintahan yang patrimonial telah menjadikan praktik-praktik penyelewengan dan korupi di tubuh pemerintahan menjadi tindakan/prilaku yang masif.
Prilaku koruptif sebagai warisan yang diberikan dari sistem pemerintahan sebelumnya, menjadikan korupsi berakar kuat dan sulit diberantas. Sistem pemerintahan patrimonial yang dominan pada zaman kerajaan jawa, kemudian pada masa pemerintahan Kolonial VOC, dan pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, telah mempengaruhi kehidupan dan sistem pemerintahan zaman sekarang. Dimana praktek-praktek korupsi dan penyelewengan yang mengikuti sistem patrimonial tersebut mewariskan perilaku korup kepada manusia di zaman modern ini.
Dinasti Ratu Atut di Banten merupakan contoh nyata dari sistem patrimonial yang masih hidup dalam Pemerintahan di Indonesia saat ini. Korupsi dan penyelewengan dalam tubuh dinasti Atut menunjukkan bahwa praktek korupsi memiliki kesinambungan historis yang panjang dalam bentuk sistem patrimonial. Sistem patrimonial ini marak terjadi di berbagai pemerintahan di seluruh Indonesia, dan dalam berbagai tingkatan.
Sejarah panjang dari praktek korupsi dan penyelewengan di Indonesia telah berdampak besar bagi stabilitas kehidupan bangsa. Warisan sejarah berupa sistem pemerintahan yang korup telah berpengaruh besar dan menyebar luas dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Sehingga sekarang dapat dilihat bagaimana tindakan penyelewengan dan korupsi tidak hanya terjadi di lingkungan pemerintahan saja, namun di kalangan swasta atau masyarakat sipil, praktek korupsi dan penyelewengan menjadi sesuatu yang masif terjadi.
Seperti halnya penyelewengan atau korupsi dana bantuan bencana alam, telah banyak terjadi di bangsa Indonesia saat ini. Tidak hanya korupsi dana pemerintahan, namun di sektor dana sosial yang notabene sebagai dana bantuan musibah yang bernilai simpati dan empati juga tidak luput dari tindakan korupsi. Telah banyak kasus yang terungkap dan telah dipidanakan berkaitan dengan penyelewengan bantuan bencana di Indonesia. Kasus yang terungkap tersebut misalnya; korupsi dan penyelewengan dana bantuan Bencana Tsunami Aceh 2004, penyelewengan dana bantuan bencana Gempa di Bantul 2006, penyelewengan bantuan bencana di Garut dari 2008, Penyelewengan Beras bantuan Bencana Alam di Jember 2010, korupsi dana bancana alam di kantor Bakesbangpol Dagri di Madiun 2014,dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya.
Sejarah panjang praktek korupsi dan penyelewengan bantuan bencana alam di Indonesia masih menimbulkan pertanyaan besar bagi bangsa ini. Pertanyaan itu berkaitan dengan tindakan korupsi dan penyelewengan sebagai kesinambungan historis sebagai warisan tradisi sejak zaman kerajaan dan kolonial. Atau bahwa tindakan korupsi dan penyelewengan merupakan suatu fenomena baru sebagai bentuk perubahan sosial berkaitan dengan moral, nilai dan mental masyarakat, yang juga dipengaruhi oleh kehidupan masalalu dalam bingkaian sejarah. Tentu hal ini masih menjadi perdebatan panjang dan menarik untuk terus dikaji berkaitan dengan fenomena korupsi dan penyelewengan bantuan bencana alam di Indonesia.
Korupsi dalam Konteks Budaya
Korupsi sebagai kejahatan pencurian uang dalam bentuk penyalahgunaan wewenang, memiliki arti yang sangat luas. Jika korupsi dilihat dari sudut pandang budaya, maka pengertian korupsi memiliki dimensi tradisi atau kebudayaan. Beberpa ahli mengemukakan pendapat bahwa tindakan korupsi sekarang ini bukan sebagi fenomena penyimpangan, namun telah manjadi tindakan yang masif terjadi dan telah menjadi budaya.
Pengertian “membudaya” dalam konteks korupsi memberikan pengertian bahwa prilaku koruptif telah masuk dalam struktur kesadaran masyarakat sebagai proses yang wajar dan tak terbantahkan dalam relasi sosial, politik, dan ekonomi. Hal tersebut seperti pernyataan Mohammad Hatta (wakil presiden RI pertama) bahwa “prilaku korupsi telah membudaya dalam masyarakat Indonesia”. Pernyataan hatta tersebut di lontarkannya pada tahun 1970an, ketika ia menjadi penasehat Presiden Soeharto dalam upaya pemberantasan korupsi saat itu (Margana, dalam Wijayanto, 2009:415-416).  
Melabel korupsi sebagai tindakan yang membudaya akan menghubungkan korupsi dengan konsep “determinisme kultural” (cultural determinism). Determinisme kultural ini merupakan konsep yang sering menjadikan acuan beberapa ahli dalam mengamati dan mempelajari korupsi yang semakin tumbuh meluas dalam masyarakat. Dimana determinisme kultural memberikan pengertian bahwa kebudayaan tertentu dalam masyarakat tertentu telah memberikan landasan mentalitas menguatnya tindakan korupsi dan penyelewengan.
Dalam sejumlah kebudayaan, terdapat nilai-nilai yang sedemikian berbeda sehingga korupsi kurang dituntut kepengadilan, lebih dapat diterima, atau bahkan merupakan bagian dari adat istiadat itu (Klitgaard, 2001:82). Nillai-nilai dan adat-istiadat yang sedemikian itu telah menjadikan praktek tindakan korupsi dan penyelewengan semakin masif terjadi di masyarakat. Perbedaan adat-istiadat, kebiasaan, dan pedoman berperilaku masyarakat satu dengan masyarakat lain, pada gilirannya, dapat menjelaskan bagaimana berbagai macam jenis serta tingkat korupsi terjadi. Perbedaan-perbedaan “budaya” disalahgunakan untuk mendukung tindakan korupsi.
Banyak teori dapat digunakan untuk menjelaskan korupsi sebagai persoalan budaya. Diantaranya adalah teori dari Emile Durkheim (185-1917). Sosiolog Prancis ini memandang bahwa watak manusia sebenarnya bersifat pasif dipengaruhi dan dikendalikan oleh struktur dalam masyarakatnya. Individu secara moral, netral, dan masyarakatlah yang menciptakan kepribadiannya (Kamil, 2009:848). Dalam konteks prilaku koruptif dan penyelewengan bantuan bencana, berarti bahwa sistem budaya dan kelembagaan yang ada dalam masyarakat yang membentuk prilaku individu. Ketika individu berada dalam struktur kelembagaan yang korup, maka struktur yang korup tersebut akan membentuk individu yang korup pula. Sebesar apapun sifat baik yang dimiliki seorang individu, ketika ia masuk dalam lembaga yang korup maka lama kelamaan akan masuk dalam pusaran hitam prilaku korupsi.
Sistem budaya yang korup akan mempengaruhi dan membentuk prilaku individu. Ketika suatu lembaga memiliki sistem budaya yang korup, nilai dan moral telah bergeser dan membentuk nilai baru, yang selanjutnya dipegang bersama oleh anggotanya sebagai pedoman berperilaku. Nilai baru inilah yang dianggap sebagai nilai yang benar walaupun dalam ukuran nilai yang sebelumnya merupakan nilai yang menyimpang. Sehingga ketika ada seorang Indvidu yang memiliki kepribadian yang baik dengan pegangan moral dan nilai yang kuat akan dianggap menyimpang ketika ia berada dalam lembaga yang korup tersebut.
Sementara  Gabriel Almond, seorang ahli teori kebudayaan politik yang banyak dipengaruhi oleh teori Sosiologi Fungsionalisme struktural Talcot Parson dan Behavioral Science dari disiplin Psikologi, memiliki pengertian yang lain mengenai tindakan korupsi dan penyelewengan berkaitan dengan kebudayaan. Bagi Almond, yang banyak dipengaruhi fungsionalisme struktural, memahami kebudayaan dan masyarakat dengan pengertian yang luas, dimana masyarakat dipandang sebagai suatu sistem dengan bagian-bagian yang saling bergatung (interdeoendensi). Baginya praktik politik dalam bntuk tindakan korupsi tidak bisa dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri, namun saling berkaitan dan berinteraksi dengan struktur lain seperti ekonomi, dan budaya (Kamil,2009:848-850).
Korupsi dalam Konteks Hukum
Jika dilihat dalam konteks hukum, Korupsi tergolong sebagai suatu tindakan yang melanggar hukum dan dapat dipidanakan. Dalam konteks hukum, setiap tindakan yang melanggar peraturan Perundang-Undangan maka dapat dipidanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Berkaitan dengan penyelewengan bantuan bencana alam, maka Undang-undang yang dapat menjerat pelaku yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang pemberantasan tindak pidana Korupsi.
UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang pemberantasan tindak pidana Korupsi, memuat 29 pasal berkaitan dengan tindakan yang dikategorikan sebagai tindakan korupsi. Sebagai persoalan hukum dan telah diatur dalam perundang-undangan, maka segala bentuk tindakan individu ataupun kelompok yang melanggar UU tersebut dapat dipidanakan dan dikenakan sanksi yang berat.
Adapun pemberatan pidana menurut Undang-undang ini selain ancaman pidana yang lebih berat dari UU sebelumnya (UU No.3 Th.1971), UU ini juga memberikan pemberatan terhadap hal-hal sebagai berikut: (Wijayanto: 573-575)
Terhadap perbuatan korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu, ancamannya dapat berupa pidanan mati. Adapun yang dimaksud dengan keadaan tertentu yaitu keadaan saat negara ditetapkan dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang berlaku; Terjadi Bencana Alam Nasional; Pengulangan tindak pidana korupsi; dan dalam keadaan krisis moneter.
Apabila oleh UU yang lain dikatakan sebagi perbuatan Korupsi, maka diberlakukan UU ini;
Percobaan, upaya membantu atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama;
Orang diluar negeri yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidanan korupsi dipidana dengan pidana yang sama dengan pelaku;
Dilakukan dalam hal ini tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
Dalam perkara pidana korupsi sealain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam KUHP, juga dapat dijatuhkan sebagai pidana tambahan berupa: pertama, Perampasan barang bergerak yang berwujud dan tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Kedua, pembayaran uang Penganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, dan apabila dalam tenggang waktu satu bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terpidana tidak membayar uang pengganti, harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Namun jika terpidana tidak memiliki harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesudah putusan pengadilan. Ketiga, penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama satu tahun. Keempat, pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Jika melihat konteks hukum dan perundang-undangan yang berlaku, maka tidakan individu atau kelompok dalam menyelewengkan bantuan bencana Alam juga tergolong sebagai tindak pidana korupsi. Sesuai UU no.31 tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001, pelaku penyelewengan bantuan menurut UU tersebut dapat menerima pemberatan pidana yaitu pidana mati. Pidana mati ini dapat dijatuhkan karena perbuatan korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu, yaitu ketika negara sedang menghadapi Bencana alam Nasional. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) UU No.31 Tahun 1999.
Ancaman pidana mati yang terkandung dalam Pasal 2 ayat (2) UU No.31 Tahun 1999 sesuai dengan pernyataan Kejaksaan Tinggi Jawatimur yang memberikan warning kepada pelaku penyelewengan bantuan bancana alam meletusnya gunung kelud februari 2014 (EncietyNews, 2014).
Pemberantasan korupsi sebagai persoalan hukum dilakukan sebagai upaya yang lebih bersifat represif dari pada upaya yang bersifat preventif. Upaya pemberntasan ini dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK sebagai lembaga yang bertugas untuk membernatas kasus korupsi di Indonesia dibentuk berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002.
Sementara untuk mengadili pelaku tindak pidana korupsi dilakukan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah pengadilan khusus yang berada dilingkungan peradilan umum dan berkedudukan didaerah kabupaten atau kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri bersangkutan. Demikian pula ditingkat Banding, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Ibu kota Provinsi yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan tinggi yang bersangkutan. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi iniberwewenang memeriksa dan memutuskan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya yang berkaitan dengan korupsi (Isra & Eddy, dalam Wijayanto, 2009:575).
Penulis : M. Saichudin
Editor :
Sumber Bacaan:
Wijayanto dkk.2009.  Korupsi Mengkorupsi Indonesia: sebab, akibat, dan prospek pemberantasan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Soedarso, Boesono. 2009. Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)
Klitgaard, Robert. 2001. Membasmi Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Jendela AlMarsya - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger