Negara Indonesia Timur : dari Pembentukan Hingga Pembubarannya

Oleh : M. Saichurrohman

1. Pendahuluan

Sejak Proklamasi Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai pengakuan Belanda terhadap kedaulatan Republik Indonesia tahun 1949, Belanda terus-menurus melakukan berbagai upaya untuk mengembalikan  kekuasaannya atas tanah jajahannya.           Dengan menggabungkan diri dengan NICA ( Nedherlands Indies Civil Administration), belanda mengupayakan pendudukan kembali atas daerah-daerah di Indonesia.

Sebagai upaya kearah konsolidasi pemerintahan daerah-daerah yang diduduki kembali dan juga untuk memikat hati bangsa indonesia, Belanda melakukan beberapa usaha. Yang pertama meletakkan dasar dasar dari “Nieuwe rechtsorde” menju kearah pembentukan pemerintahan yang disususn secara “federatief”. Kemudian juga memulihkan kembali badan-badan otonomi kabupaten dan haminten di daerah-daerah yan dianggap sudah aman.[1]

Sebagai tindak lanjut dari langkah pembentukan federalisme, maka kemudian dilakukan beberapa koferensi seperti konferensi Malino, Denpasar dan Pangkalpinang. Dari beberapa konferensi tersebut akhirnya menghasilkan terbentuknya 15 Negara-negara (calon negara bagian) secara berangsur-angsur). Kemudian dengan keputusan Gubernemen 9 maret 1948  No. 1 (Stb. 1948/62) di bentuklah Voorlopige Federale Regering Voor Indonesie (pemerintahan Federal sementara untuk indonesia).

2. Pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT)

Setalah tentara Australia meningglakna wilayah indonesia timur dan kemudian menyerahkan wilayahnya ke Belanda 15 Juli 1946, dengan cepat maka dilakukan upaya untuk mengembalikan kekuasaan belanda atas wilayah indonesia timur. Dengan Dipimpin Oleh Van Mook, maka segera dilakukan konferensi Malino untuk membahas pembentukan negara federal. Konferensi yang berlangsung hingga 24 Juli 1946 ini di hadiri sekitar 70 orang dari berbagai perwakilan daerah di indonesia timur seperti; Sulawesi selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sangir-Talaud, Maluku Utara, Maluku Selatan, Kepulauan Kei-Aru, Papua.Bali, Lombok , Sumbawa, Flores, Timor, Kalimantan Barat, Kalimantan selatan, Kalimantan Timur, Bangka, dan Belitung.[2]

Konferensi malino ini pada intinya membicarakan mengenai gagasan vaan Mook mengenai pembentukan Negara merdeka untuk  Indonesia dengan menganut sistem Federal.  Dari konferensi ini di dapat beberapa kesimpulan seperti penolakan diberlanjutkannya kolonialisme di indonesia, keputusan untuk menyelenggarakan konferensi lanjutan mengenai pembentukan negara federal indonesia timur dan kalimantan, pembentukan komisi untuk berunding dengan pemerintah Belnda menyangkut pemerintahan dan sebagainya.

Untuk menindak lanjuti konferensi Malino, diadakan kembali konferensi kedua di Denpasar yang dibuka tanggal 7 Desember 1946 sampai 24 Januari 1947. Konferensi Ini di hadiri oleh perwakilan dari 13 daerah dari Indonesia Timur. Dalam konferensi Denpasar dilakukan beberapa pembahasan seperti pembicaraan mengenai peraturan dasar dari NIT, dan juga Pembentukan NIT sendiri.

Dalam jalannya konferensi, terjadi perdebatan yang sangat kuat antara golongan yang Pro RI maupun yang mendukung adanya Federalisasi. Seperti Mr. Tadjudin Noor yang Pro RI mengemukaan bahwa agar lebih baik dibentuk sebuah negara Indonesia yang merdeka. Selaras dengan Tadjudin, J.e. Tatengkeng juga menyatakan bahwa sesungguhnya bangsa indonesia mengharapkan terbentuknya negara yang merdeka yang berdaulat. Sehingga dalam pembicaraan pasal demi pasal, para delegasi memperlihatkan sikap yang sangat kritis mengenai batas-batas kewenangan NIT dan Hindia Belanda. Para delegasi menolak seumpamanya ada kekuasaan yang terlalu besar yang diberikan kepada wakil mahkota. Karena hal itu bisa menjadikan adanya campurtangan didalam masalah pemerintahan NIT.[3]

Dalam membentuk negara yang merdeka dan berdaulat para delegasi juga menuntut agar status NIT di samakan dengan RI. Kemudian para delegasi juga menolak usul van mook yang menggunakan istilah Groote Ost, dan lebih memilih menggunakan istilah Indonesia Timur, yang masih menunjukkan masih bagian dari bangsa Indonesia. Kemudian dalam konferensi denpasar ini, dibicarakan pula mengenai dasar-dasar NIT, satatus para raja dan swapraja(zelfbestuur), namun rumitnya permasalahan tersebut diputuskan untuk dilanjutkan di kesempatan berikutnya. Selain itu mengenai batas-batas kewenangan antara pemerintah pusat di Jakarta dan Pemerintah NIT juga tidak dapat dipecahkan dalam konferensi denpasar ini.[4]

Untuk kepentingan administrasi , pemerintahan wilayah yang tercangkup dalam Indonesia Timur terbagi kedalam 13 daearah, yaitu

1.      Sulawesi Selatan

2.      Sulawesi Utara

3.      Minahasa

4.      Sulawesi Tengah

5.      Sangir-Talaud

6.      Maluku Utara

7.      Maluku Selatan

8.      Bali

9.      Lombok

10.  Flores

11.  Timor

12.  Sumbawa

13.  sumba

Setelah masalah Hukum terselasaikan selanjutnya di lakukan pemilihan Presiden NIT beserta kelengkapannya.  Setelah melakukan pemilihan dari tiga calon, maka terpilih Sukawati sebagai Presiden NIT. Kemudian Tadjudin Noor sebagai Ketua parlemen sementara, dan Nadjamudin Daeng Malewa sebagai perdana Menteri. Dalam pemerintahan NIT, digunakan sistem Parlementer dengan para menteri bertanggungjawab dengan parlemen, sedangkan presiden tidak memiliki kekuasaan politik.

3. Pembubaran Negara Indonesia Timur

Setelah terbentuknya RIS, diberbagai wilayah seluruh indonesia mulai muncul berbagai gerakan yang menginginkan dihapuskannya negara-negara bagian bentukan belanda. Usaha-usaha tersebut diwujudkan dengan cara peleburan negara-negara bagian yang ada kedalam negara bagaian RI. Sehingga hal tersebut akan merubah bentuk negara dari negara serikat menuju negara kesatuan. Untuk memungkinkan peleburan tersebut dikeluarkan oleh pemerintah RI Undang-undang darurat N0. 1 tahun 1950. Undang-ungdang ini berisi tentang tata cara merubah susunan kenegaraan dari wilayah RIS.berdasarkan undang-undang tersebut, maka secara berangsur-angsur negara-negara bagian meleburkan diri kedalam pemerintahan republik indonesia. Sehingga dalam waktu beberapa bulan saja, RIS hanya menyisakan 3 negara bagian saja, yaitu Negara Bagian RI, Negara Sumatera Timur, dan Negara Indonesia Timur.[5]

Dalam upaya pembubaran RIS, maka dilakunan perundingan antara RI(yang mewakili NST dan NIT) dengan RIS mengenai cara-cara merubah bentuk negara serikat menuju negara kesatuan. Bersamaan dengan proses tersebut, Negara Bagia RI tersus melakukan gerakan dan mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendirikan daerah-daerah otonom dibawah kekuasannya. Sehingga pada waktu negara Ris dilebur menjadi negara kesatuan RI, dibeberapa wilayah di jawa, madura dan sumatera telah dibentuk profinsi-provinsi yang otonom.[6]

Sementara itu ketika berbagai negara bagian mulai menggabungkan diri dengan Negara RI, Pemerintah Indonesia Timur tetap berusaha melanjutkan prinsip-prinsip federalisme. Banyak dari kalangan fraksi demokrat dan fraksi nasional NIT yang tidak dapat melihat kemungkinan-kemungkinan perkembangan daerahnya jika diperintah langsung dari jakarta. Sehingga pandangan tersebut membuat terjadinya selang pendapat, sehingga wacana untuk meleburkan NIT kedalam kesatuan RI sulit dilakukan.[7]

Selanjutnya setelah mengalami pergolakan yang cukup panjang untuk menuju peleburan kedalam kesatuan NKRI, maka pada tanggal 17 agustus, parlemen NIT mengadakan sebuah sidang Istimewa untuk membahas perkembangan politik di jakarta. Sebagian besar anggota dari parlemen NIT memang telah mengantisipasi pembubaran NIT. Selain itu dalam sidang ini E.U pupella dari partai Indinesia Maluku dalam Fraksi Progresif mengajukan Mosi Agar NIT di jadikan bagian  dari negara kesatuan republik Indonesia. Selanjutnya mosi yang dipaparkan ini dibicarakan lebih mendalam yang akhirnya membawa keputusan untuk diterima oleh semua anggota parlemen NIT. Dengan demikian maka sejak saat itu MIT telah resmi dibubarkan dengan dilebur kedalam bagian dari NKRI. Wilayah Indonesia timur dalam kesatuan NKRI lalu di bagi menjadi 3 provinsi, yaitu Provinsi Sulawesi, provinsi Sunda Kecil dan provinsi Maluku.[8]

4. Kesimpulan

Sejak Proklamasi kemerdekaan 1945, belanda selalu berupaya mengembalikan kekuasaannya atas wilayah indonesia. Melalui operasi militer (agresi militer) belanda melakukan penertipan atas wilayah-wilayah indonesia. Belanda menganggap bahwa kemerdekaan yang diploiklamirkan 1945 diluar prosedur yang ada yang dianggap tidak resmi. Sehingga dengan mengandeng NICA, Belanda kembali ke indonesia untuk mengambil alih kekuasaan.

Dalam usahanya, belanda menggunakan politik memecah belah kekuasaan. Hal tersebut dilakukan dengan mengupayakan federalisasi dalam sistem pemerintahan yang ada. Melalui Konferensi Meja Mundar (KMB) diputuskan bahwa akan dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Yang selanjutnya dengan dipimpin van mook mulailah didirikan negara-negara bagian di berbagai wilayah di indonesia.

Upaya pembentukan negara federal dimulai dengan diadakan konferensi manilo,yang diputuskan adanya wacana untuk pembentukan negara federal. Kemudian dilanjutkan konfrensi denpasar yang memutuskan didirikannya Negara Indonesia Timur dan negara kalimantan. Negara Indonesia Timur resmi berdiri sejak konferensi denpasar 1947. Yang manggunakan sistem parlementer dengan Sukawati sebagai presiden pertama,  Tadjudin Noor sebagai ketuya parlementer sementara dan Nadjamudin Daeng Malewa sebagai perdana Menteri.

Negara indonesia Timur berdiri sampai tahun 1950, dimana untuk mewujudkan kesatuan NKRI dan dibubarkannya RIS, maka NIT juga harus dilebur kedalam kesatuan RI. Walaupun dalam proses peleburan, menimbulkan beberapa perdeatan untuk tetap mempoertahankan bentuk federalisme di Indonesia timur. namun berdasarkan sidang istimewa yang dilakukan oleh anggota parlemen NIT, diputuskan untuk ikut bergabung kedalam kesatuan NKRI untuk menuju kenmerdekaan dan kesatuanh bersama yang mandiri atas wilayah Idonesia.

Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik (ed.) Indonesia dalam Arus sejarah  (jakarta : PT. Ichtiar baru van Hoeve, 2012)

Koesoehatmadja, Pengantar Kearah sistem pemerintahan daerah (Bandung: Binacipta, 1979) 

Leirissa, Richard Z. Maluku dalam Perjuangan Nasional Indonesia (Jakarta: Lembaga Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1975)

---

[1] Koesoehatmadja, Pengantar Kearah sistem pemerintahan daerah (Bandung: Binacipta, 1979)  hlm. 31-32.

[2] Taufik Abdullah (ed.) Indonesia dalam Arus sejarah  (jakarta : PT. Ichtiar baru van Hoeve, 2012), hlm. 464.

[3] Ibid., Hlm. 465.

[4] Ibid., Hlm. 466.

[5] Koesoehatmadja, op.cit., hlm. 32

[6] Ibid., Hlm. 32-33.

[7] Richard Z. Leirissa, Maluku dalam Perjuangan Nasional Indonesia (Jakarta: Lembaga Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1975) Hlm . 155

[8] Taufik Abdullah (ed.) op.cit., Hlm. 480.