KEMISKINAN DAN STRATEGI PENANGANANNYA

M.Saichudin[1]

Email : m.saichudin1@gmail.com

Abstrak

Kemiskinan (Poverty) merupakan permasalahan sosial multidimensional. Kemiskinan tidak bisa dilihat hanya sebagai permasalahan yang berkaitan dengan kekurangan pendapatan, yang membuat masyarakat miskin tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya yang paling dasar. Namun lebih dari itu, kemiskinan juga harus dipandang sebagai problema hidup masyarakat miskin yang meliputi kekurangan pendapatan, keterbatasan akses terhadap sumberdaya (isolasi), kerentanan dan ketidakberdayaan.

Kehidupan masyarakat miskin sering kali termarginalisasi oleh kepentingan-kepentingan penguasa sarana ekonomi. Selain itu masyarakat miskin juga cenderung menjadi korban dari pembangunan, dan bukannya penikmat dari hasil pembangunan. Sehingga yang terjadi sekarang ini adalah ketimpangan distribusi pendapatan yang semakin besar, dan membuat kesenjangan antara golongan kaya dengan golongan miskin semakin tinggi.

Kemiskinan telah menjadikan derita kehidupan mayarakat kelas bawah (Underclass). Kemiskinan juga telah menghambat dan membatasi golongan miskin untuk melakukan mobilitas naik, serta telah mengungkungnya dalam lingkaran kemiskinan. Lima unsur perangkat kemiskinan (Deprivation trap) yaitu kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik, kadar isolasi, kerentanan dan ketidakberdayaan, telah menjadi perangkat yang benar-benar mematikan kehidupan masyarakat.

Kata kunci: Poverty, Deprivation trap, Under class

Pendahuluan

Kemiskinan (Poverty) adalah permasalahan sosial yang tidak ada habisnya jika dibicarakan. Terlebih fenomena kemiskinan seringkali menjadi suatu permasalahan yang tidak bisa dilepaskan dari berbagai aspek sosial lainnya. Jika membicarakan kemiskinan kita tidak bisa melepaskan diri dari pembicaraan mengenai  kependudukan dan ledakan penduduk, urbanisasi, pengangguran, pendidikan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dikatakan bahwa kemiskinan merupakan permasalahan sosial yang multidemensi, yang menjerumuskan masyarakat miskin kedalam kungkungan kemiskinan.

Mengingat luasnya pembahasan kemiskinan, untuk itu dalam penulisan artikel kemiskinan disini hanya dibatasi pada permasalahan kemiskinan dan faktor-faktor penyebabnya. Selain itu juga dijelaskan pula tipologi kemiskinan, perangkap kemiskinan (deprivation trap), dan juga strategi penanganannya. Namun untuk menjadikan tulisan masalah kemiskinan ini sebagai tulisan yang lengkap, maka tak baik jika dalam pembahasan ini kita tidak menyinggung sedikit permasalahan sosial lain seperti urbanisasi, pengangguran, pendidikan dan lain sebagainya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan kemiskinan menjadi permasalahan sosial yang urgen untuk ditangani di negara Indonesia. Tidak hanya di indonesia, permasalahan kemiskinan telah menjadi permasalahan yang menyita perhatian lebih di negara-negara dunia ketiga. Tidak itu saja, bahkan dinegara maju yang notabene sebagai negara adidaya, dengan perkembangan ekonomi yang tinggi pun juga tidak bisa lepas dari permasalahan kemiskinan. Walau perbedaannya hanya pada kadar kemiskinan yang dihadapi negara maju dan negara berkembang berbeda.

Terlepas dari kadar perbedaan masalah kemiskinan yang dihadapi negara maju dan negara berkembang, kemiskinan telah menjadi momok yang menakutkan dan mematikan kehidupan masyarakat miskin di belahan dunia manapun. Kemiskinan seringkali menjadikan kehidupan masyarakat miskin menjadi tidak berdaya dan menjerumuskan dalam lingkaran setan kemiskinan.

Negara kesejahteraan(walfare state) yang seharusnya bertanggung jawab atas kesejahteraan para pendudukknya, yang tidak dapat dipercayakan kepada individu, perusahaan swasta, ataupun komunitas lokal, ternyata belum mampu memenuhi tanggung jawab tersebut (Arbramcombie, 2010:615). Berbagai program kemiskinan melalui jaminan sosial bagi mereka yang miskin dalam banyak hal masih belum berhasil sepenuhnya. Walau telah banyak program yang di tujukan kepada pemberdayaan masyarakat miskin, ternyata alam faktanya masih banyak permasalahan yang mengikuti. Sehingga masih perlu dikaji ulang, sehingga  nantinya diharapkan program-program tersebut akan lebih baik dan benar-benar memihak kepada rakyat miskin.

Difinisi Kemiskinan

Studi-studi tentang kemiskinan sebenarnya sudah tidak terbilang banyaknya. Banyak ahli-ahli kemiskinan yang telah lama konsen dalam permasalahan kemiskinan dan mendifinisikan konsep kemiskinan. Hanya saja dari sekian banyak ahli terdapat perbedaan-perbedaan tentang difinisi kemiskinan. Menurut Levitan (1980; dalam Bagong Suyanto, 2013:1), mendifinisikan kemiskinan sebagai kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai kehidupan yang layak. Sedang menurut Schiler (1979; dalam Bagong Suyanto, 2013:1), kemiskinan adalah ketidak sanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan sosial yang terbatas.

Dari dua difinisi kemiskinan diatas jelas terlihat bahwa beberapa ahli kemiskinan melukiskan fenomena kemiskinan hanya sebagai suatu permasalahan ekonomi belaka. Dimana kemisknan selalu dihubungkan dengan tidak dimilikanya pendapatan yang cukup untuk memenuhi kehidupan pada posisi yang layak dan sejahtera. Sehingga difinisi kemiskinan tersebut telah mengaburkan difinisi kemiskinan yang sesugguhnya. Kemiskinan bukanlah semata-mata hanya sebagai masalah yang berkaitan dengan kekurangan pendapatan. Namun lebih penting dari itu, kemiskinan harus dilihat sebagai masalah sosial yang multidimensi, dimana apa yang disebut kemiskinan tidak hanya sebatas kekurangan pendapatan yang menyebabkan suatu keluarga terperosok dalam kehidupan dibawah standar yang layak. Kemiskinan juga dipengaruhi oleh kungkungan strutural dalam masyarakat.

Banyak bukti menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat miskin sering kali tidak berdaya dan rentan. Masyarakat miskin lemah dan kemampuannya terbatas untuk mengakses berbagai  sarana produksi seperti modal usaha. Studi yang dilakukan Wignjosoebroto,et al.,(1992; dalam Suyanto, 2013:2) tentang kehidupan masyarakat miskin di Surabaya menemukan bahwa masyarakat miskin umumnya tidak berdaya, ruang geraknya serba terbatas, dan cenderung kesulitan untuk terserap dalam sektor-sektor yang memungkinkan mereka dapat mengembangkan usahanya.

Difinisi yang lebih lengkap tentang kemiskinan dikemukakan oleh Robert Chambers. Menurut Robert Chambers (1987), inti dari permasalahn kemiskinan adalah terletak pada apa yang dia sebut sebagai Deprivation Trap atau perangkap kemiskinan. Menurut Chambers perangkap kemiskinan terdiri dari lima unsur yaitu pertama, kemiskinan itu sendiri; kedua, kelemahan fisik; ketiga, keterasingan/kadar isolasi; kempat, kerentanan; dan kelima ketidak berdayaan. Kelima unsur perangkap kemiskinan ini saling berkaitan satu sama lain dan menjadi perangkap yang benar-benar mematikan bagi kehidupan masyarakat miskin(Suyanto, 2013:12).

Kemiskinan Absolud dan Kemiskinan Relatif

Para sosiolog membedakan kemiskikan menjadi kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut terjadi ketika orang tidak bisa mendapatkan kebutuhan untuk mendukung tingkat kesehatan fisik dan efisiensi minimum, yang sering dilukiskan dalam istilah tingkat ketercukupan kalori dan nutrisi (Arbramcombie, 2010:433). Kemiskinan absolut juga bisa diartikan sebagai suatu keadaan dimana tingkat pendapatan absolut dari satu orang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti sandang, pangan, pemukiman, kesehatan dan pendidikan (Suyanto, 2013:3). Konsumsi nyata tersebut dinyatakan secara kuantitatif dan atau dalam bentuk uang berdasarkan harga pada tahun pangkal tertentu. Sehingga seseorang dapat dikatakan mengalami kemiskinan absolut ketika pendapatannya tidak bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

Sedangkan Kemiskinan Relatif yaitu kemiskinan yang ditentukan oleh standar hidup umum dalam berbagai masyarakat dan apa yang secara kultural didefinisikan sebagai miskin daripada tingkat kemiskinan absolut (Arbramcombie, 2010:433). Sementara itu Bagong suyanto (2013) mendifinisikan kemiskinan Relatif sebagai kemiskinan yang dinyatakan dengan beberapa persen dari pendapatan nasional yang diterimakan oleh kelompok penduduk dengan kelas pendapatan tertentu dibandingkan dengan proporsi pendapatan nasional yang diterimakan oleh kelompok penduduk dengan kelas pendapatan lainnya. Sehingga ketika kemiskinan didefinisikan secara relatif, menurut standar kehidupan yang dinikmati sebagian besar populasi, maka tingkat kemiskinan akan berbeda-beda daiantara berbagai masyarakat dan didalam masyarakat dari waktu kewaktu.

Konsep kemiskinan relatif diformulasikan oleh S.A. Stouffer, dkk., (1949) dan dikembangkan oleh Robert K. Merton (1957), yang menyatakan bahwa orang biasanya mengalami perasaan bahwa dirinya kekurangan ketika mereka membandingkan situasi mereka yang tidak menguntungkan dengan orang atau kelompok lain. Perbandingan ini dapat dilakukan dengan orang dalam lingkungan interaksinya ataupun orang diluar interaksinya. Namun yang menjadi permasalahan disini adalah kelompok rujukan (Reference Group) yang dipilih orang atau kelompok untuk mereka jadikan fokus perbandingan (Arbramcombie, 2010:469-470).

Ciri-Ciri Kemiskinan

Dari sekian panjang perdebatan mengenai difinisi kemiskinan, dan dengan melihat banyaknya ukuran untuk menunjukkan kemiskinan seseorang atau sekelompok orang yang bisa disebut miskin, maka Bagong Suyanto menyimpulkan beberapa ciri dari kemiskinan sebagai berikut:

1.      Masyarakat miskin yang hidup dibawah garis kemiskinan pada umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri, seperti tanah garapan, modal usaha, ataupun ketrampilan. Banyak dari penduduk miskin di desa yang manggantungkan hidupnya pada sektor pertanian pada umumnya tidak memiliki tanah garapan sendiri. Umumnya mereka bekerja sebagai buruh tani dan atau menggarap tanah milik orang lain dengan sistem Khedokan (bagi hasil). Sehingga dari tidak dimilikinya tanah untuk dikerjakan ataupun karena hanya mengedhok sawah milik orang lain atau kerabat, maka kemampuan untuk memperoleh pendapatan menjadi sangat terbatas.

Dari pekerjaannya sebagai buruh tani dan atau pengedhok sawah pendapatan yang diterima tidak seberapa dan hanya cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Bahkan tak jarang ketika mereka tidak mendapat pekerjaan sebagai buruh, atau mendapati gagal panen dari lahan yang dia kedhok dari orang lain, mereka akan masuk dalam lingkaran kemiskinan. Kebanyakan golongan masyarakat seperti ini sangatlah rentan dan tidak berdaya. Hanya saja kemiskinan mereka dapat diredam oleh ikatan sosial/ pranata sosial tradisional disekitarnya, seperti pola hubungan patron-client.

2.      Masyarakat miskin pada umumnya tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri. Pendapatan yang rendah dan hanya bisa untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari, membuat masyarakat miskin tidak bisa membeli/menyewa tanah garapan. Selain itu, karena kondisinya yang miskin membuat kelompok ini kesulitan mendapatakan modal usaha. Dimana hal ini terjadi karena kebanyakan kredit usaha memutuhkan jaminan, sehingga mereka yang tergolong miskin tidak memenuhi syarat terpenuhinya kredit perbankan.

3.      Masyarakat miskin pada umumnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Karena keterbatasan ekonomi membuat masyarakat miskin tidak memiliki akses untuk mendapatkan pendidikan. Selain itu waktu mereka kebanyakan habis digunakan untuk mencari  nafkah. Dari banyak kasus menunjukkan bahwa kemiskinan sering di turunkan kepada anak cucu mereka. Karena kemiskinan yang dialami orang tuanya, anak-anak terpaksa putus sekolah karena harus bekerja membantu orang tua mereka mencari nafkah. Tak hayal yang terjadi selanjutnya yaitu kemiskinan yang akan dialami sianak kelak. Karena putus sekolah maka akses dia untuk memperbaiki kehidupannya dengan melakukan mobilitas vertikal sulit terjadi.

4.      Banyak masyarakat miskin yang hidup dikota-kota besar pada umumnya gololongan muda dan tidak memiliki Skill. Mereka ini merupakan para urban yang mengadu nasib di kota. Karena tidak memiliki skill yang memadai dan juga karena tingkat pendidikan yang rendah, maka yang terjadi adalah menjadi pengangguran dan pekerja serabutan. Golongan miskin kota ini pada umumnya mendiami lokasi di pinggiran kota, di tempat-tempat slump seperti di bantaran rel keretaa api dan bantaran sungai.

Kemiskinan membuat mereka tidak bisa mendapatkan tempat hidup yang layak dan harus mendiami kantong-kantong kemiskinan di kota (Slump). Kebanyakan dari mereka yang tinggal dikota dan tergolong masyarakat miskin bekerja sebagai pekerja informal, seperti pemulung sampah, pengamen, dan pengemis jalanan.

Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan

Faktor-faktor yang menjadi penyebab kemiskinan dapat di bagi dua yaitu faktor alamiah dan faktor buatan/struktural. Faktor alamiah yaitu faktor penyebab kemiskinan yang bersumber secara alamiah yang terdapat dalam kehidupan manusia. Artinya bahwa penyebab kemiskinan memang secara alamiah benar-benar ada dalam masyarakat. Kemiskinan alamiah terjadi ketika sumber-sumber daya yang ada dalam masyarakat terbatas jumlahnya dan juga perkembangan tegnologi yang masih rendah. Contoh dari kemiskinan alamiah yaitu kemiskinan yang dialami masyarakat yang hidup di daerah-daerah gersang. Kemiskinan ini secara alamiah terjadi karena sumberdaya produksi yang ada dalam masyarakat kurang mendukung sehingga produktivitas pertanian tidak dapat dikembangkan oleh petani. Selain kondisi geografis tersebut, kemiskinan ini disebabkan karena teknologi yang masih rendah dan belum berkembang menjadi faktor penyebab alamiah dari kemiskinan masyarakat.

Sementara kemiskinan buatan atau sering disebut juga kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang dialami masyarakat karena struktur sosial yang ada telah menyebabkan pemiskinan kelompok masyarakat tertentu. Kemiskinan struktural ini terjadi karena distribusi terhadap sumber daya produksi yang tidak merata di dalam masyarakata. Oleh karenanya menimbulkan golongan tertentu yang tidak mendapatkan/menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas yang sebenarnya tersedia dalam masyarakat, dan membuatnya masuk dalam kemiskinan. Dengan adanya kesenjangan akan penguasaan sarana ekonomi dalam masyarakat telah membuat kelompok tertentu menjadi miskin dan kelompok yang lainnya semakin kaya. Sehingga dengan demikian struktur masyarakat telah membuat sebagian besar anggota masyarakat tetap miskin, walau sebenarnya jumlah total produksi yang dihasilkan oleh masyarakat tersebut bila dibagi rata dapat membebaskan semua anggota masyarakat dari kemiskinan.

Contoh dari kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang dialami dikalangan masyarakat nelayan di berbagai wilayah di Indonesia. Jika dianalisis lebih dalam tentang penyebab kemiskinan yang diderita nelayan tradisional, sebenarnya bukan secara alamiah karena jumlah sumberdaya alam yaitu ikan jumlahnya terbatas. Ataupun juga bukan karena mereka malas bekerja/ tidak memiliki etos kerja yang baik. Namun dibalik itu, sebenarnya ppenyebab kemiskinan adalah karena struktur sosial yang ada telah memarginalisasi mereka dan membuat mereka tidak berdaya.

Struktur yang ada dalam masyarakat telah menjadikan nelayan tradisional kalah bersaing dengan nelayan-nelayan modern. Dimana nelayan modern telah menguasai berbagai sarana ekonomi di sektor perikanan yang membuat mereka dapat memonopoli kegiatan ekonomi. Seperti misalnya yaitu bahwa nelayan modern adalah nelayan dengan skala besar yang telah menggunakan teknologi modern peangkapan ikan dan dengan awak kapal yang lumayan banyak, dimana nelayan modern ini mampu berlayar jauh ke laut lepas dan mampun mendapatkan ikan yang banyak. Selain itu mereka tak jarang juga merangkap sebagai pengepul ikan dari nelayan-nelayan tradisional. Sehingga mereka dapat memonopoli perdagangan ikan terhadap nelayan tradisonal.

Posisi yang kurang menguntungkan nelayan tradisonal telah membuat posisi tawar (Bargaining position) mereka rendah dan tunduk pada struktur perdagangan ikan yang dikuasai nelayan modern. Sehingga sudah pasti nelayan tradisional akan semakin terpuruk kedalam jurang kemiskinan. Walaupun sebenarnya jika dihitung secara keseluruhan total hasil produksi ikan sebenarnya jika dibagi secara rata dapat membebaskan semua anggota masyarakat dari kemiskinan.

Ketidakberdayaan masyarakat miskin dari kungkungan struktural telah memakasa mereka terus terjerumus dalam lingkaran kemiskinan. Posisi yang tidak menguntungkan masyarakat miskin telah menjadi seperti benang ruwet yang saling berkaitan dan menjadi penyebab keruwetan kehidupan mereka. Posisi kemiskinan mereka telah membuatnya jauh dari peluang memperbaiki kehidupannya ke posisi yang lebih baik. Sebagai keluarga miskin telah membuat akses mereka terhadap pendidikan terputus, terbatasi dari akses modal produsksi, kurang dipercaya dan lain sebagainya.

Banyak fakta membuktikan bahwa seringkali masyarakat miskin adalah mereka dari golongan bawah dengan pendidikan yang rendah/ tidak tamat SD. Bagong Suyanto menyatakan bahwa kelangsungan pendidikan anak banyak dipengaruhi oleh kondisi ekonomi keluarga dan orang tuanya. Seringkali faktor kemiskinan keluarga telah memaksa anak-anak dari keluarga miskin putus sekolah karena harus membantu orang tuanya mencari nafkah. Selain itu karena tekanan kemiskinan orang tua dan juga tingkat pendidikan yang rendah, telah membuat anak-anak di pedesaan ketinggalan dibanding teman-temannya, dan tak jarang pula mereka juga harus putus sekolah ditengah jalan karena orang tuanya tidak memiliki biaya yang cukup untuk mensekolahkan anaknya. (Suyanto, 2013:361-362).

Pendidikan yang seharusnya menjadi pintu keluar keluarga miskin dari kungkungan kemiskinan ternyata sulit diraih. Keterbatasan ekonomi keluarga telah membuat anak-anak putus sekolah dan tidak mampu mencapai pendidikan yang tinggi. Pendidikan yang rendah yang harus diterima anak-anak dari keluarga miskin, tak jarang nantinya akan mewariskan kemiskinan orang tuanya kepadanya kelak. Dengan begitu kemiskinan yang dialami suatu keluarga dapat menjadi “budaya kemiskinan”. Budaya kemiskinan dapat diartikan sebagai kemiskinan yang diterima seseorang masyarakat yang disebabkan dari faktor internal orang itu sendiri. Budaya kemiskinan telah mewariskan cara hidup dari satu generasi ke generasi lainnya melalui suatu garis keluarga.

Perangkap Kemiskinana dan Lingkaran kemiskinan

Seperti telah disinggung diawal bahwa perangkap kemiskinan merupakan suatu konsep teori dari Robert Chambers. Perangkap kemiskinan yang terdiri dari lima unsur yaitu kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik, kadar isolasi, kerentanan, dan ketidak berdayaan telah menjadi perangkap kemiskinan yang benar-benar mematikan kehidupan masyarakat miskin. Konsep teori Perangkap kemiskinan dari Chambers ini sangat menarik untuk didiskusikan sebagai salah satu penyebab kemiskinan yang dapat mengantarkan keluarga miskin dalam lingkaran kemiskinan.

Kemiskinan yang diderita keluarga miskin tak jarang harus memaksa mereka bekerja mebanting tulang untuk mencari nafkah. Kemiskinan telah membuat asupan makanan keluarga miskin menjadi kurang, dan bisa berpengaruh terhadap kesehatan fisik mereka. Sehingga masyarakat miskin sangat rentan dalam berbagai hal apapun yang bisa mengantarkan mereka kedalam lingkaran kemiskinan. Kerentanan disini diartikan Chambers sebagai ketidakmampuan keluarga miskin untuk menyediakan sesuatu guna menghadapi situasi krisis/darurat seperti bencana alam, gagal panen, atau penyakit yang menerpa keluarga miskin sewaktu-waktu (Suyanto, 2013:12).

Sementara ketidakberdayaan dapat dilukiskan sebagai ketidak mampuan golongan miskin untuk menghadapi kungkungan struktur sosial yang telah merugikan dan memiskinkan mereka. Sebagai contoh yaitu bahwa keluarga miskin tidak mampu berbuat apa-apa ketika berbagai program pengentasan kemiskinan disalahgunakan/dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Ketidakberdayaan mereka telah membuat mereka harus menerima permaianan yang yang tidak menguntungkan mereka.

Dua unsur perengakap kemiskinan yaitu kerentanan dan ketidakberdayaan menjadi unsur yang sangat penting dalam memperangkap keluarga miskin dalam kungkungan kemiskinan. Walau tidak dapat dipungkiri bahwa unsur-unsur yang lain juga tak kalah penting. Kadar isolasi juga telah menjadi faktor penting dalam menjerumuskan keluarga miskin dalam lingkaran kemiskinan. Kadar isolasi disini dapat diartikan sebagai isolasi keluarga miskin yang dipandang dari aspek geografis, yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi masyarakat yang terisolasi. Selain itu kadar isolasi juga dapat dilihat dari aspek isolasi secara struktural. Yang berarti bahwa seringkali keluarga miskin terbatas aksesnya atau sengaja dibatasi dari berbagai sarana ekonomi produksi, yang sebenarnya dapat meningkatkann sumber pendapatannya.

Lima unsur perangkap kemiskinan telah menjadi perangkat yang menjerumuskan keluarga miskin kedalam lingkaran kemiskinan. Lingkaran kemiskinan diartikan sebagai suatu bentuk kungkungan kemiskinan yang saling kait-mengkait yang mendorong keluarga miskin semakin terpuruk dalam kemiskinan dan sulit keluar dari kemiskinannya. Kemiskinan yang dialami keluarga miskin telah membuat produktivitas mereka rendah, dan pada gilirannya juga akan membuat pendapatan mereka rendah. Kemiskinan itu juga membuat daya tawar (bargainning position) maupun daya kerja rendah. Sehingga karena produktivitas atau pendapatan rendah, maka kemiskinan akan timbul. Kemiskinan cenderung akan bertambah parah dan membuat keluarga miskin semakin terpuruk dan susuah untuk keluar dari kemiskinannya.

Strategi Pengentasan Kemiskinan

Berbagai program pengentasan kemiskinan sebenarnya telah banyak dijalankan mulai sejak orde baru hingga sekarang ini. Namun seperti yang terlihat sekarang ini, permasalahan kemiskinan masih menjadi permasalahan yang menyita perhatian lebih untuk segera diatasi. Kemiskinan masih banyak terjadi diberbagai wilayah Indonesia dan semakin parah. Terlebih berbagai program yang dijalankan untuk pengentasan kemiskinan selama ini masih belum mencapai hasil yang memuaskan.

Agenda pengentasan kemiskinan sudah harus dijadikani prioritas dan menjadi agenda utama negara Indonesia. Terlebih, seiring dengan kenaikan harga BBM di Indonesia  pada akhir tahun 2014, tentu menjadi persoalan baru yang dapat menjerumuskan masyarakat kepada jurang kemiskinan baru. Selain itu berbagai program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat miskin ternyata belum berhasil sepenuhnya dan malah menciptakan ketergantungan baru golongan keluarga miskin terhadap pemerintah.

Sehingga sudah perlu kiranya menciptakan strategi pengentasan kemiskinan yang benar-benar sesuai dan mampu mengeluarkan keluarga miskin dari penderiataan kemiskinan dan ketergantungannya. Namun upaya pengentasan kemiskinan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Banyak bukti menunjukakan bahwa pengalaman-pengalaman yang lalu terkait pengentasan kemiskinan banyak menemui kendala dan kegagalan. Memperbaiki struktur yang tidak bersih dengan menjalakan transparansi kebijakan yang benar-benar bersih, ternyata bukanlah jawaban yang tepat untuk mengatasi kemiskinan. Selain itu berbagai upaya pemberdayaan bagi masyarakat miskin juga bukan kunci utama untuk pengentasan kemiskinan. Tanpa disusunnya suatu kebijakan yang benar-benar berpihak kepada masyarakat miskin, maka upaya pengentasan kemsikinan tidak akan menemui jalan yang terang.

Upaya-upaya pemberdayaan masyarakat miskin dengan mengedepankan kemendirian masyarakat lokal tidak akan sempurna menyelesaikan masalah tanpa diikuti penyelesain sampai akar permasalahan kemiskinan yang sebenarnya. Seingga sudah menjadi kewajiban utama bagi pemerintah untuk membongkar dan menghapus berbagai bentuk penindasan dan eksploitasi yang diterima masyarakat miskin. Karena dua unsur tersebut telah menjadikan masyarakat miskin tidak bisa mengembangkan ekonomi produktifnya dan terjerumus pada kungkungan kemiskinan struktural. Berbagai bentuk eksploitasi dan penindasan yang dilakukan golongan masyarakat tertentu yang menguasai berbagai sarana ekonomi, telah membatasi akses keluarga miskin untuk mengembangkan kemandiriannya. Karena kungkungan struktural tersebut pula, juga telah membuat posisi tawar masyarakat miskin rendah dan selalu tertindas oleh orang-orang yang menguasai berbagai sarana ekonomi dalam masyarakat.

Jika dilihat secara historis berkaitan dengan proses pembangunan di Indonesia, menunjukkan betapa pembangunan telah memarjinalisasi masyarakat kelas  bawah yang cenderung menjadi korban pembangunan. Kesalahan strategi pembangunan yang dijalankan pemerintah lama, yaitu ketika orientasi pembangunan benar-benar hanya berorientasi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Keberhasilan pembangunan semata-mata diukur dari terjadinya pertumbuhan ekonomi yang terlihat dari peningkatan pendapatan nasional dan pendapatan perkapita suatu negara. Pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai parameter dari keberhasilan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun fatalnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata tidak seirama dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Secara makro proses pembangunan telah berhasil, yaitu dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi negara. Namun jika dilihat secara mikro pembangunan belumlah berhasil sepenuhnya, karena telah menciptakan ketidak merataan pendapatan yang semakin timpang.

Pertumbuhan ekonomi negara Indonesia hanya merepresentasikan pertumbuhan ekonomi secara makro. Namun jika dilihat lebih jeli, dampak dari kesalahan strategi pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi yaitu terjadinya pemiskinan di sebagian besar masyarakat. Peningkatan pertumbuhan ekonomi ternyata dalam realitasnya telah menciptakan ketimpangan pendapatan diantara penduduka Indonesia. Kerimpangan pendapatan tersebut semakin lebar, dimana yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Hal ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi yang terjadi sebenarnya merupakan sokongan dari beberapa penduduk Indonesia saja, yang menguasai sebagian besar kegiatan ekonomi di Indonesia dan yang mampu merespon pembangunan. Sehingga dapat disimpulkan dari kesalahan strategi pembangunan ini yang menjadikan strategi pengentasan kemiskinan tidak berhasil.

Untuk itu berbagai program pengentasan kemiskinan haruslah benar-benar berpihak kepada rakyat miskin. Dengan perhatian lebih pada permasalahan kemiskinan dan pengawalan dari pemerintah tentu permasalahan kemiskinan akan semakin mudah untuk ditangani. Pemerintah haruslah menjadi pihak yang bisa memosisikan dirinya sebagai orangtua dari keluarga miskin, yang selalu mengayomi dan membantu golongan miskin untuk melawan segala bentuk eksploitasi yang bisa mematikan usaha rakyat miskin. Dengan begitu kesejahteraan yang diidam-idamkan bukan menjadi hal yang mustahil untuk dicapai.

Dari berbagai diskusi tentang strategi pengentasan kemiskinan diatas dapat ditarik beberapa point strategi pengentasan kemiskinan yaitu sebagai berikut:

1.      Pengentasan kemiskinan harus dilihat sebagai strategi untuk mengatasi kemiskinan, dengan memandang permasalahan kemiskinan ini sebagai permasalahan yang utama dan permasalahan kemiskinan multidimensional.

2.      Pemberdayaan masyarakat miskin dengan mengedepankan kemandirian dalam menyelesaikan masalah kemiskinannya sendiri harus di kembangkan sebagai salah satu kunci dari strategi pengentasan kemiskinan.

3.      Menciptakan struktur pemerintah yang bersih dalam upaya pengentasan kemiskinan juga menjadi salah satu syarat penting dari keberhasilan pengentasan kemiskinan.

4.      Campur tangan pemerintah dalam memberantas segala bentuk eksploitasi dan penindasan yang diterima masyarakat miskin menjadi unsur terpenting, untuk mengelurakan keluarga miskin dari kungkungan kemiskinan struktural dan ketidak berdayaan.

5.      Serta, peran serta dari berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk membantu memerangi segala bentuk ketidakadilan yang diterima masyarakat miskin.

Kesimpulan

Kemiskinan menjadi masalah sosial yang penting untuk segera ditangani. Dari tahun-ketahun angka kemiskian cenderung bertambah dansemakin parah. Permasalahan kemiskinan bukan hanya berkaitan dengan kekurangan pendapatan yang diterima seseorang, yang membuatnya tidak mampu memenuhi kebutuhannya yang paling dasar. Lebih dari itu kemiskinan harus dilihat sebagai permasalahan seperti “benang ruwet” yang melibatkan berbagai aspek yang menyebabkan seseorang terjerumus pada ketidaksejeateraan.

Kemiskianan bukan hanya disebabkan dari faktor internal seseorang yang menyebabkan dia miskin misalnya etos kerja rendah, namun harus dilihat sebagai problem yang disebabkan juga oleh kungkungan struktural yang ada di dalam masyarakat. Masyarakat miskin cenderung rentan dan tidak berdaya dalam menghadapi berbagai struktur ekonomi yang tidak memihak mereka. Sehingga yang terjadi adalah berbagai bentuk eksploitasi yang akhirnya menjerumuskannya dalam jurang kemiskinan.

Keluarga miskin cenderung memiliki ciri yaitu tidak memiliki sumberdaya produksi, pendidikan rendah, terbatas aksesnya dan tidak memiliki kemungkinan mendapatkan aset produksi dengan kekuatan sendiri. Lima unsur perangkap kemiskinan (deprivation trap) dari Robert Chambers mengagambarkan betapa masyarakat miskin cenderung lemah, terisolasi, rentan dan tidak berdaya. Dan unsur-unsur kemiskinan yang dimiliki keluarga miskin tersebut telah menjadi perangkap kemiskinan yang benar-benar mematikan usaha keluarga miskin untuk mencapai hidup sejahtera.

Strategi pengentasan kemiskinan yang benar-benar memihak kepada keluarga miskin sangat diperlukan untuk mengentaskan kemiskinan. Pemberdayaan keluarga miskin dengan diikuti oleh upaya pemberantasan berbagai bentuk eksploitasi yang diterima keluarga miskin sangat dibutuhkan dalam upaya tersenut. Tidak itu saja, dengan menciptakan struktur yang lebih bersih dan transparan juga menjadi salah satu kunci untuk mempermudah keberhasilan berbagai program pengentasan kemiskinan.

Daftar Pustaka :

Abercrombie, Nicholas, Stephen Hill, Bryan S. Turner. 2010. Kamus Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Rahardjo, M. Dawam. 2006. Menuju Indonesia Sejahtera: Upaya Konkret Pengentasan Kemiskinan. Jakarta: Khanata-Pustaka LP3ES Indonesia

Susanto, Heri. 2006. Dinamika Penanggulangan Kemiskinan: Tinjauan Historis Era Orde Baru. Jakarta: Khanata-Pustaka LP3ES Indonesia

Suyanto, Bagong. 2013. Anatomi Kemiskinan dan Strategi Penanganannya. Malang : In-Trans Publishing

Suyanto, Bagong & Karnaji. 2005. Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial: Ketika Pembangunan Tidak Memihak kepada Rakyat Miskin. Surabaya: Airlangga University Press

Adi, Isbandi Rukminto. 2005. Jurnal: Kemiskinan Multidimensi. Makara, Sosial Humaniora : Vol 9, No.01

---

[1] Mahasiswa Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga Surabaya