Klenteng Tjoe Hwei Kiong : Dinamika kehidupan Orang-Orang Tionghoa di Kediri sampai Akhir tahun 1990-an

Oleh : M. Saichurrohman 
Pengantar
Kedatangan  orang-orang tionghoa kedaerah selatan, termasuk ke wilayah nusantara sudah dimulai sejak abad ke -7 sampai abad ke -10 yaitu pada masa kekuasaan dinasti Tang. Pada masa selanjutnya kedatangan orang-orang tionghoa ini semakin besar sekitar abad ke -14 sampai abad ke -17 seiring dengan ekspedisi yang dilakukan oleh  Cheng Ho (1371-1435). Semakin banyaknya orang-orang tionghoa yang bermigrasi meninggalkan tempat kelahirannya di sebabkan oleh beberapa faktor seperti adanya pemberontakan kaum petani terhadap tuan tanah yang mengakibatkan naiknya sewa tanah dan juga karena terjadinya perang saudara dan penyerbuan-penyerbuan yang dilakukan oleh bangsa mongol saat itu.[1]
Selain alasan-alasan diatas meraka juga memiliki ketertarikan pada kekayaan yang berlimpah di negeri selatan. Kemudian juga di dukung oleh kemajuan tekhnologi angkutan pelayaran yang memperlancar preses kepergian mereka. Dilain pihak,  pada waktu itu pemerintah hindia belanda di indonesia juga mulai aktif membuka pertambangan, perkebunan dan perusahaan besar. Dari tersedianya berbagai alternatif lapangan pekerjaan dan juga keterbukaan pemerintah kolonial belanda membuat hasrat orang-orang cina untuk mengadu nasib dirantau selatan semakin besar.[2]
Tujuan  orang-orang cina yang datang ke berbagai wilayah di indonesia pertama-tama ialah ke tempat-tempat yang menjadi pusat kota yang dirasa banyak menawarkan kesempatan pekerjaan. Disana mereka lambat laun akan hidup secara berkelompok dan melakukan interaksi dengan masyarakat pribumi maupun golongan eropa. Secara kuantitas pada awalnya mereka tergolong minoritas, namun dalam waktu yang relatif singkat  jumlah mereka semakin meningkat bahkan mereka juga berhasil menduduki posisi dominan di sektor perekonomian.[3]

Masa Awal Kedatangan Komunitas Tionghoa Dikediri
Seperti halnya di daerah-daerah lain, keberadaan orang-orang cina di kediri telah ada sejak lama bahkan sekitar tahun 1800-an mereka telah masuk di kediri. Keberadaan mereka dikediri terbukti dengan dibangunnya klenteng Tjoe Hwie Kiong sebagai pusat peribadatan. Klenteng yang sampai sekarang masih tegak berdiri ini, di perkirakan dibangun sekitar tahun1850-an.  Hal ini dibuktikan pada beberapa perabot klenteng yang tertuliskan tahun pemberian perabot tersebut. karena memang dalam pembangunannya, klenteng ini banyak menerima sumbangan baik dalam bentuk uang maupun perlengkapan-perlengkapan yang dibutuhkan oleh klenteng.[4]
Kedatangan orang-orang tionghoa dikediri dilatar belakangi oleh kegiatan perekonomian yaitu untuk melakukan aktifitas perdagangan. Keberadaan mereka di kediri saat itu menempati pada lokasi-lokasi yang dekat dengan basis perekonomian di kediri, yaitu di sekitar  Klenteng straat, Pasarpon Straat, dan di sepanjang Groote postweg.[5] Tempat-tempat tersebut, saat itu yang memang menjadi pusat kegiatan ekonomi di Kediri.
Untuk kawasan pecinan di wilayah kediri dapat di identifikasi berada di sekitar Chineesche voorstraat dan Klenteng straat (sekitar daerah Pakelan, Setanagedong dan Ringin Anom), yaitu di sebelah selatan jembatan lama kediri dan berada di sepanjang aliran sungai berantas. Di daerah tersebut juga telah dibangun Klenteng[6] sebagai tempat peribadatan bagi orang-orang tionghoa di Kediri. Bagi orang-orang tionghoa keberadaan klenteng memang menjadi unsur yang sangat penting dalam sebuah pemukiman masyarakat tionghoa, karena fungsinya mengikat dan menyatukan etnis Tionghoa serta menjadi identitas pecinan.[7]
Orang-orang tionghoa dikediri sejak awal kedatangannya mayoritas  berpofresi sebagai pedagang. Mereka banyak membuka pertokoan-pertokoan dipusat kota kediri seperti dikawasan Pasar pahing, Stastion Straat, Pasar pon Straat,dll. Rata-rata mereka membuka toko-toko kelontong untuk keperluan sehari-hari masyarakat kediri. Pada masa hindia belanda sudah banyak berdiri toko-toko milik orang tionghoa  di  pusat kota kediri. Toko milik orang tionghoa yang terkenal saat itu seperti toko St. Kok Soen[8] yang berada di dekat jembatan lama dan toko Soerabaja di dekat Station Straat.[9]
Gambar 1.
Pertokoan Tionghoa di Pertigaan Station Straat Kediri

 
 Sumber : http://img.wongkediri.net/kediri-kuno/pertigaan-stasiun.jpg
Pada masa pemerintahan kolonial Hindia belanda di indonesia, kedudukan orang-orang cina di kediri sudah semakin mantap. Komunitas tionghoa juga telah membangun Kenteng sebagai pusat peribadatan mereka. Selain itu di dunia pendidikan, juga telah didirikan dua sekolah untuk orang-orang tionghoa yaitu sekolah THKK ( Tiong Hwa Kwe Kwan) yang berada di dekat jembatan lama dan juga Chin. Meisjesschool yang berada di jalan klenteng (Klenteng Straat).[10]

Klenteng Tjoe Hwei Kiong Sebagai Pusat Peribadatan dan kegiatan Komuitas Tionghoa Kediri
Gambar 2.
Foto lama Klenteng Tjoe Hwie Kiong
 
Sumber : http://img.wongkediri.net/kediri-kuno/jalan-klenteng.jpg
Klenteng Tjoe Hwie Kiong merupakan pusat peribadatan dan tempat berkumpul orang-orang tionghoa di kediri. klenteng Tjoe Hwie Kiong ini juga merupakan satu-satunya klenteng yang dimiliki komunitas tionghoa di kediri. Selain  sebagai tempat untuk ibadah klenteng ini juga merupakat tempat berkumpul dan tempat untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kecinaan. Di klenteng ini pula orang-orang cina melestarikan kebudayaannya. salah satu kebudayaan atau kesenian  yang di jaga oleh klenteng ini ialah kesenian Wayang Potehi dan juga Barong sai. Menurut slamet[11], keberadaan kesenian wayang potehi ini telah ada sejak lama. Dijelaskan olehnya bahwa sejak dia kecil wayang potehi ini telah dipertunjukkan pada acara-acara tertentu seperti pada perayaan Imlek, perayaan kelahiran Makcow dsb.
Sebagai pusat peribadatan klenteng ini akan ramai di kunjungi pada tanggal 1 dan 15 dalam tanggalan Cina. Selain itu pada acara-acara tertentu, klenteng ini juga dijadikan sebagai pusat perayaan. Misalnya pada tahun baru imlek, pasti di klenteng ini akan melakukan perayaan dan di saat itu pula orang-orang cina akan bersama-sama berkumpul untuk merayakannya. Selain itu di klenteng ini juga terdapat upacara arwah atau disebut upacara rebutan. Upacara arwah ini biasanya di selenggarakan pada bulan ke delapan. Upacara arwah ini merupakan upacara untuk mengirim doa kepada arwah leluhur agar dapat mencapai ketenangan di alam sana. Pada upacara arwah ini dilakukan pula pembagian sembako kepada rakyat miskin. Upacara arwah dan kegiatan pemberian sembako ini telah ada sejak lama. Dahulu upacara arwah ini disebut pula upacara rebutan karena dahulu tiap kali di adakan pembagian sembako, banyak masyarakat miskin yang datanguntuk memperebutkannya. Namun kini untuk menghindari terjadinya rebutan bagi penerimanya, maka sekarang pengurus membagi sembako dengan cara memberi keplek kepada orang-orang yang berhak.[12]
Keberadaan klenteng Tjoe Hwie Kiong memang diakui telah menyimbolkan eksistensi keberadaan orang tionghoa di kediri. Sejak lama mereka menetap di kota ini dan melakukan aktifitas peribadahan di klenteng ini. Selain itu sejak dahulu klenteng ini juga dijadikan sebagai tempat untuk melaksanakan perayaan-perayaan hari-hari besar umat tionghoa. Sehingga klenteng ini telah menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan komunitas tionghoa dikediri.
Klenteng kebanggaan komunitas tionghoa kediri ini telah mengalami empat kali pemugaran. Beberapa kali pemugaran yang dilakukan ini tidak lain karena memang umur klenteng ini yang sudah tua serta beberapa kali klenteng ini terkena bencana banjir. Seperti banjir akibat luapan sungai Brantas yang melanda kota kediri di tahun 1955 telah membuat klenteng ini terendam lebih dari ½ meter. Klenteng ini memang langganan terendam banjir mengingat posisi klenteng yang berada tepat di pinggir sungai brantas. Oleh karena itu klenteng ini pernah beberapa kali dilakukan upaya peninggian tempat. Di jelaskan oleh Slamet bahwa klenteng ini sudah pernah di lakukan pengurukan dan pengecoran beberapa kali. Menurut pemaparannya, sekitar 1,5 meteran bangunan klenteng ini sudah masuk kedalam tanah akibat proses peninggan dan pengurukan tanah tersebut.[13]
Klenteng Tjoe Hwie Kiong memiliki bangunan lama yang menjadi banguan asli sejak pendiriannya. Bangunan tersebut ialah bangunan lama tersebut ialah bangunan yang menjadi tempat ibadah dan juga gapura pintu masuk menuju klenteng ini. Kemudian klenteng ini juga memiliki beberapa bangunan baru dari hasil sumbangan orang-orang tionghoa. Bangunanbaru tersebut seperti Gedung Mitra Graha yang di resmikan tahun 1982. Dan gedung Pasada Graha yang di bangun tahun 2011 dan merupakan sumbangan dari PT. Gudang Garam. Mitra graha sendiri digunakan sebagai balai pertemuan sedangkan Pasada Graha sebagai gedung olah raga serta memiliki pula aula yang cukup besar.[14]
Gambar 3.
Banguan utama sebagai tempat sembahyang
Sumber : Koleksi Pribadi
Gambar 4.
Gapura Klenteng Tjoe Hwie Kiong

Sumber : Koleksi Pribadi
Gambar 5.
Gedung Mitra Graha
Sumber : Koleksi Pribadi
Gambar 6.
Gedung Pasada Graha
Sumber : Koleksi Pribadi

Kehidupan Komunitas Tionghoa Kediri sampai tahun 1990-an
Komunitas tionghoa merupakan komunitas timur asing yang paling mendominasi di daerah kediri. Dibandingkan golongan lain orang-orang tionghoa terlihat lebih menonjol, bahkan di berbagai tempat keberadaan orang-orang tionghoa ini dapat kita jumpai. Mata pencaharian yang mayoritas sebagai pedagang atau pemilik toko kelontong membuat persebaran orang-orang tionghoa lebih dinamis. Dari masa kolonial sampai saat ini kita akan banyak menemui toko-toko milik orang cina di kediri.
Pada masa kolonial banyak keluarga cina yang membuka toko-toko kelontong di jantung kota kediri. Seperti di jalan dhoho, dahulu banyak pertokoan yang dikelola oleh orang-orang cina. Salah satu toko milik keluarga cina yang masih ada sampai saat ini ialah toko Soerabaja. Toko ini ialah milik keluarga Tan Khoen Swie yakni tokoh tionghoa yang berhasil pula melakukan bisnis penerbitan buku di kediri. Tan Khoen Swie merupakan tionghoa kelahiran  Wonogiri pada 1884 dan meninggal di Kediri 1953.[15] Sampai saat ini toko Soerabaya masih tetap bertahan, dan dikelola oleh generasi ke empat. 
Gambar 7.
Toko Soerabja
Sumber : http://wongkediri.net/wp-content/uploads/2012/04/toko-tan-khoen-swie.jpg
Namun seiring perkembangan  zaman, banyak toko-toko tionghoa yang berada di kawasan jl Dhoho  yang lebih memilih untuk pindah kedaerah lain. Hal ini dilakukan karena semakin mahalnya pajak yang ada, sehingga banyak orang-orang tionghoa yang memilih pindah ketempat lain yang dirasa lebih menguntungkan. Bahkan tak sedikit pula  yang memilih membuka toko-toko baru  di desa-desa di luar kawasan kota dengan mempertimbangkan keuntungan yang dapat di raihnya.[16]
Pada awal abad ke 19, pemerintah kolonial hindia belanda juga mengeluarkan peraturan-peraturan untuk mengatur masyarakat kota. Salah satu peraturan yang juga mengatur golongan tionghoa ialah peraturan mengenai pembagian tiga wilayah untuk tiga golongan yaitu golongan eropa, golongan timur asing yang didalamnya terdagat kelompok tionghoa, arab, india dan lainnya serta kelompok pribumi. Untuk golongan tionghoa sendiri dilakukan pembentukan mayor dan kapiten Cina, kemudian juga dikelurakan peraturan pas jalan untuk berpergian dari satu tempat ketempat lainnya. Kebijakan pas jalan ini mengakibatkan ruang gerak masyarakat tionghoa dalam mencari penghidupan saat ini  menjadi terbatas.[17]
Pada masa selanjutnya yaitu masa pemerintahan jepang di indonesia, kehidupan orang-orang tionghoa juga diatur dengan berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Saat itu pemerintahan jepang yang sangat singkat mengeluarkan undang-undang No. 7 yang dikeluarkan pada tanggal 11 April 1942. Pada peraturan tersebut etnis tionghoa digolongkan sebagai bangsa asing dan oleh karena itu mereka harus membayar pajak Bangsa Asing. Karena penggolongan tersebut, setiap tionghoa dewasa yang hendak berpergian diwajibkan membawa kartu pengenal sebagai orang asing dan juga harus membawa surat jalan.[18]
Ketika indonesia telah merdeka, keberadaan etnis tionghoa juga menjadi salah satu yang diperhatikan oleh pemerintah. Tidak berbeda dengan pemerintahan masa kolonial, pemerintahan republik indonesia juga mengeluarkan beberapa kebijakan bagigolongongan tionghoa. Kebijakan yang paling diskriminatif yang diterima oleh golongan tionghoa berlangsung pada masa pemerintahan Orde baru. pada masa orde baru ini pemerintah melakukan pelarangan terhadap semua kegiatan yang berbau kecinaan. Etnis tionghoa diharuskan pula meninggalkan identitas serta kebudayaan tionghoanya. Proses penghilangan identitas  tionghoa menjadi identitas indonesia dilakukan berdasarkan  keputusan presidium kabinet No. 127/U/KEP/12/1996. Kebijakan yang antara lain menganjurkan semua warga tionghoa untuk berganti nama dengan nama lokal tersebut kemudian dilaksanakan secara efektif dan serentak.[19]
Selain upaya penghilangan identitas kecinaan dan juga pembatasan terhadapkebudayaan tionghoa, pemerintah orde baru juga melakukan penutupan terhadap sekolah-sekolah cina,  Seperti penutupan sekolah THKK yang merupakan sekolah cina satu-satunya yang ada di kediri saat itu. Dalam hal penggunaan bahasa, bahasa china dilarang digunakan, toko-toko yang menggunakan nama cina harus di ganti dengan nama indonesia. Bagi orang-orang tionghoa yang memakai nama cina juga di persulit ketika mereka hendak mengurus sesuatu di pemerintahan. Sehingga saat itu banyak orang-orang tionghoa yang berpindah nama. Pembatasan terhadap orang-orang cina ini terlihat pula pada dunia pendidikan dan pekerjaan. Banyak orang-orang tionghoa yang tidak bisa meneruskan pendidikan atau memperoleh pekerjaan dilingkup pemerintahan dikarenakan latar belakang pendidikannya berasal dari lulusan sekolah cina. Sehingga mereka harus mengulang pendidikan untuk bisa meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi.[20]
Pembatasan terhadap orang-orang tionghoa berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa pemerintahan suharto. Pada masa pemerintahan presiden Abdurrahman wahid lambat laun diskriminasi terhadap orang-orang cina mulai di hapuskan. Pada masa Gusdur pula hari raya imlek di tetapkan sebagai hari libur nasional. Kebijakan gusdur dalam memberi perlakuan yang sama terhadap komunitas tionghoa telah memberi kesenangan tersendiri bagi komunitas tionghoa di kediri serta komunitas tionghoa di indonesia. Berkat kebijakan gusdur ini warga tionghoa bisa lebih bebas dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Penggunaan bahasa china dapat berkembang lagi, bahkan untuk sekolah-sekolah tertentu telah di kurikulumkan mata pelajaran bahasa mandarin sebagai mata pelajaran tambahan.[21]
Terlepas dari berbagai persoalan yang menimpa golongan tionghoa di kediri, baik dari masa pemerintahan kolonial sampai pemerintahan indonesia, keberadaan mereka tidak selamanya merugikan. Kegiatan golongan tionghoa yang mayoritas masuk dalam bidang perekonomian terbukti telah memberi pengaruh yang besar terhadap berjalannya roda perekonomian di kediri. sejak masa kedatangannya sampai masa pemerintahan kolonial belanda, golongan tionghoa ini telah berhasil menduduki posisi yang dominan dibidang perekonomian. Sehingga pada masa kolonial belanda golongan tionghoa ini juga mendapatkan perhatian yang khusus dari pemerintah belanda.
Saat ini jumlah komunitas Tionghoa dikediri sudah sangat banyak, dan telah menyebar dan berbaur dengan masyarakat lokal di kediri. Dari segi kehidupan sejak masa pemerintahan Gus Dur, mereka telah mendapatkan kebebasan dan ruang gerak yang luas didalam mencari penghidupan dan juga melakukan kegiatana kebudayaannya. Dari segi aktifitasnya pun sudah berbaur jadi satu dengan penduduk lokal tanpa adanya lagi pembedaan perlakuan, tempat tinggal dsb, sehingga hampir setiap saat baik penduduk lokal dan tionghoa terjadi interaksi baik dalam hubungan pekerjaan maupun kekerabatan. Namun tetap saja secara fisik tionghoaa peranakan dapat kita lihat perbedaannya, biasanya  mereka berkulit putih dan memiliki mata yang sipit.[22]

Penutup
Seperti halnya kota-kota lain, keberadaan etnis tionghoa juga menjadi bagian terpenting dari perjalanan sejarah kediri. Sejak awal kedatangannya mereka sudah mulai menyebar di kederi dan melakukan kegiatan perdagangan. Banyak diantara mereka yang melakukan kegiatan perekonomian dengan membuka toko-toko kelontong untuk keperluan sehari-hari masyarakat kediri. Dari kegiatan orang-orang tionghoa di bidang ekonomi ini juga telah berperan dalam memutar roda perekonomian di kediri saat itu.
Sebagai golongan minoritas etnis tionghoa secara perlahan-lahan mampu menduduki posisi dominan dibidang perekonomian. Banyak pertokoan tionghoa yang didirikan di kota kediri, bahkan beberapa toko mampu memperlihatkan eksistensinya sampai saat ini. Seperti contoh Toko Soerabja milik keluarga Tan Khoen swie, yang sampai saat ini masih melakukan kegiatan perdagangan.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda keberadaan etnis tionghoa ini menjadi salah satu hal yang di perhatikan oleh pemerintah. Ketika Kediri di tetapkan sebagai Gemeente  dilakukan pulaupaya pembagian wilayah bagi tempat tinggal masyarakat kota kediri baik dari golongan timur asing, eropa dan juga pribumi. Pada masa pemeriantahan kolonial Hindia belanda didirikan pula sekolah-sekolah khusus untuk orang-orang tionghoa seperti THKK (Tiong Hwa Kwe Kwan)  dan Chineesche Meisjesschool. Kemudian untuk mengatur masyarakat tionghoa, pemerintah belanda juga menunjuk seorang pemimpin sebagai opsir Tionghoa sebagai kapitein Chinees dan Luitenant Chinees.
Meskipun demikian etnis Tionghoa seringkali mendapatkan perlakuan yang berbeda baik pada masa pemerintahan kolonial maupun paska kemerdekaan. Perlakuan ini terkadang juga menjurus pada pendiskriminasian terhadap golongan tionghoa tersebut. Perlakuan berbeda atau diskriminasi terhadap etnis tionghoa di kediri terlihat begitu kentara pada masa Orde Baru. sepanjang masa orde baru memang banyak terjadi driskiminatif terhadag golongan Tionghoa di indonesia, bahkan sering terjadi hubungan yang tak harmonis antara etnis tionghoa dengan penduduk lokal. Keadaan yang demikian membuat pemerintah orde baru mengeluarkan undang-undang yang membatasi segala hal kegiatan kecinaan. Dengan dikeluarkannya undang-undang tersebut membuat etnis cina mau tidak mau meninggalkan identitas kecinaannya. Di kediri pada masa orde baru ini dilakukan penutupan terhadap sekolah-sekolah cina, kemudian juga dilakukan pelarangan melakukan kegiatan yang berbau cina. Penggunaan bahasa cina tidak diperbolehkan dan etnis tionghoa di kediri harus merubah nama cinanya menjadi nama indonesia.
Driskiminasi terhadap golongan cina di kediri berakhir bersamaan dengan lengsernya pemerintahan Orde baru. tepatnya pada masa pemerintahan gus Dur, undang-undang yang membatasi kegiatan dan kebudayaan cina di hapuskan. Sejak saat itu komunitas cina di kediri dan juga di daerah lainnya di indonesia mendapat kebebasan dalam menjaga identitas serta kebudayaannya. Bahkan untuk menghargai entnis tionghoa, tahun baru imlek juga dimasukkan dalam hari libur nasional.



DAFTAR PUSTAKA
Artikel dan Jurnal
Kristyowidi, Belly Isayoga “Boekhandel Tan Khoen Swie 1915-1950an:
Nilai Kultural Dari Terbitan TKS”. Verleden Journal, Vol. 1, No.1, Desember 2012
Wibowo, Priyanto  “Tionghoa dalam Keberagaman Indonesia : Sebuah Perspektif Historis tentang Posisi dan Identitas”, dalam Prosiding The 4th International Coference on Indonesian Studies : “Unity, Diversity and Future”.
Widiani, Ika  .Adaptasi Beragama Etnis Tionghoa di Tuban 1967-197. Skripsi tidak di terbitkan pada universitas Airlangga Surabaya, 2011
Buku
Noordjanah, Andjarwati. Komunitas Tionghoa di Surabaya. Yogyakarta : Ombak, 2010
Website
http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/detail/form/advanced?q_searchfield=hoofdplaats+kediri
http://wongkediri.net/wp-content/uploads/2012/04/toko-tan-khoen-swie.jpg
Wawancara
1.      Nama               : Slamet
Alamat                        :
Umur               :
Peran               : Juru kunci Klenteng Tjoe Hwie Kiong

2.      Nama               : The Swie Hoo
Alamat                        : Balongrote Kediri
Umur               :74 Th
Peran               : Anggota pengurus Klenteng Tjoe Hwie Kiong




[1] Rahmad Rijkana, Pergulatan Mencari Identitas : Etnis Tionghoa Di Kapasan Boen Bio Surabaya Tahun 1945-1968, Skripsi tidak di terbitkan pada universitas Airlangga Surabaya, 2011 hlm. 24-25.
[2] Andjarwati Noordjanah, Komunitas Tionghoa di Surabaya. (Yogyakarta : Ombak, 2010). Hlm., 37-38.
[3] Ibid., Hlm. 39.
[4] Wawancara dengan Slamet, 5 januari 2014
[5] http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/detail/form/advanced?q_searchfield=hoofdplaats+kediri
[6] Istilah klenteng muncul berdasarkan bunyi genta kecil “klinting-klinting” dan Genta besar “klonteng-klonteng” yang sering dibunyikan dalam rumah ibadah masyarakat tionghoa. Berdasarkan bunyi yang terdengar tersebut kemudian untuk mempermudah penyebutan tempat ibadah umat tionghoa tersebut maka muncul istilah Klenteng.
[7] Wawancara dengan The Swie Hoo, 5 januari 2014
[8] http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/detail/form/advanced?q_searchfield=hoofdplaats+kediri
[9] Wawancara dengan The Swie Hoo, 5 januari 2014
[10]  http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/detail/form/advanced?q_searchfield=hoofdplaats+kediri
[11] Juru Kunci Klenteng Tjoe Hwie Kiong
[12] Wawancara dengan Slamet, 5 januari 2014
[13] Wawancara dengan The Swie Hoo, 5 januari 2014
[14] Wawancara dengan The Swie Hoo, 5 januari 2014
[15] Belly Isayoga Kristyowidi, “Boekhandel Tan Khoen Swie 1915-1950an:
Nilai Kultural Dari Terbitan TKS”. Verleden Journal, Vol. 1, No.1, Desember 2012
[16] Wawancara dengan The Swie Hoo, 5 januari 2014
[17] Priyanto Wibowo, “Tionghoa dalam Keberagaman Indonesia : Sebuah Perspektif Historis tentang Posisi dan Identitas”, dalam Prosiding The 4th International Coference on Indonesian Studies : “Unity, Diversity and Future”. Hlm. 645.
[18] Ibid., 646.
[19] Ibid., 646.
[20] Wawancara dengan The Swie Hoo, 5 januari 2014
[21] Wawancara dengan Slamet, 5 januari 2014
[22] Wawancara dengan The Swie Hoo, 5 januari 2014
Share this article :

+ komentar + 1 komentar

4 Oktober 2023 pukul 19.42

Dari sumber2 diatas, apakah saya boleh meminta artikel sumber tersebut?

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Jendela AlMarsya - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger