Oleh : M. Saichurrohman
Pengantar
Kedatangan orang-orang tionghoa kedaerah selatan,
termasuk ke wilayah nusantara sudah dimulai sejak abad ke -7 sampai abad ke -10
yaitu pada masa kekuasaan dinasti Tang. Pada masa selanjutnya kedatangan
orang-orang tionghoa ini semakin besar sekitar abad ke -14 sampai abad ke -17
seiring dengan ekspedisi yang dilakukan oleh
Cheng Ho (1371-1435). Semakin banyaknya orang-orang tionghoa yang
bermigrasi meninggalkan tempat kelahirannya di sebabkan oleh beberapa faktor
seperti adanya pemberontakan kaum petani terhadap tuan tanah yang mengakibatkan
naiknya sewa tanah dan juga karena terjadinya perang saudara dan penyerbuan-penyerbuan
yang dilakukan oleh bangsa mongol saat itu.[1]
Selain
alasan-alasan diatas meraka juga memiliki ketertarikan pada kekayaan yang
berlimpah di negeri selatan. Kemudian juga di dukung oleh kemajuan tekhnologi
angkutan pelayaran yang memperlancar preses kepergian mereka. Dilain pihak, pada waktu itu pemerintah hindia belanda di
indonesia juga mulai aktif membuka pertambangan, perkebunan dan perusahaan
besar. Dari tersedianya berbagai alternatif lapangan pekerjaan dan juga
keterbukaan pemerintah kolonial belanda membuat hasrat orang-orang cina untuk
mengadu nasib dirantau selatan semakin besar.[2]
Tujuan orang-orang cina yang datang ke berbagai
wilayah di indonesia pertama-tama ialah ke tempat-tempat yang menjadi pusat
kota yang dirasa banyak menawarkan kesempatan pekerjaan. Disana mereka lambat
laun akan hidup secara berkelompok dan melakukan interaksi dengan masyarakat
pribumi maupun golongan eropa. Secara kuantitas pada awalnya mereka tergolong
minoritas, namun dalam waktu yang relatif singkat jumlah mereka semakin meningkat bahkan mereka
juga berhasil menduduki posisi dominan di sektor perekonomian.[3]
Masa
Awal Kedatangan Komunitas Tionghoa Dikediri
Seperti
halnya di daerah-daerah lain, keberadaan orang-orang cina di kediri telah ada
sejak lama bahkan sekitar tahun 1800-an mereka telah masuk di kediri.
Keberadaan mereka dikediri terbukti dengan dibangunnya klenteng Tjoe Hwie Kiong
sebagai pusat peribadatan. Klenteng yang sampai sekarang masih tegak berdiri
ini, di perkirakan dibangun sekitar tahun1850-an. Hal ini dibuktikan pada beberapa perabot
klenteng yang tertuliskan tahun pemberian perabot tersebut. karena memang dalam
pembangunannya, klenteng ini banyak menerima sumbangan baik dalam bentuk uang
maupun perlengkapan-perlengkapan yang dibutuhkan oleh klenteng.[4]
Kedatangan
orang-orang tionghoa dikediri dilatar belakangi oleh kegiatan perekonomian
yaitu untuk melakukan aktifitas perdagangan. Keberadaan mereka di kediri saat
itu menempati pada lokasi-lokasi yang dekat dengan basis perekonomian di
kediri, yaitu di sekitar Klenteng straat, Pasarpon Straat, dan di
sepanjang Groote postweg.[5]
Tempat-tempat tersebut, saat itu yang memang menjadi pusat kegiatan ekonomi di
Kediri.
Untuk
kawasan pecinan di wilayah kediri dapat di identifikasi berada di sekitar Chineesche voorstraat dan Klenteng straat (sekitar daerah Pakelan,
Setanagedong dan Ringin Anom), yaitu di sebelah selatan jembatan lama kediri
dan berada di sepanjang aliran sungai berantas. Di daerah tersebut juga telah
dibangun Klenteng[6]
sebagai tempat peribadatan bagi orang-orang tionghoa di Kediri. Bagi
orang-orang tionghoa keberadaan klenteng memang menjadi unsur yang sangat
penting dalam sebuah pemukiman masyarakat tionghoa, karena fungsinya mengikat
dan menyatukan etnis Tionghoa serta menjadi identitas pecinan.[7]
Orang-orang
tionghoa dikediri sejak awal kedatangannya mayoritas berpofresi sebagai pedagang. Mereka banyak
membuka pertokoan-pertokoan dipusat kota kediri seperti dikawasan Pasar pahing,
Stastion Straat, Pasar pon Straat,dll. Rata-rata mereka membuka toko-toko
kelontong untuk keperluan sehari-hari masyarakat kediri. Pada masa hindia
belanda sudah banyak berdiri toko-toko milik orang tionghoa di
pusat kota kediri. Toko milik orang tionghoa yang terkenal saat itu
seperti toko St. Kok Soen[8]
yang berada di dekat jembatan lama dan toko Soerabaja di dekat Station Straat.[9]
Gambar 1.
Pertokoan Tionghoa di Pertigaan
Station Straat Kediri
Sumber
: http://img.wongkediri.net/kediri-kuno/pertigaan-stasiun.jpg
Pada
masa pemerintahan kolonial Hindia belanda di indonesia, kedudukan orang-orang
cina di kediri sudah semakin mantap. Komunitas tionghoa juga telah membangun
Kenteng sebagai pusat peribadatan mereka. Selain itu di dunia pendidikan, juga
telah didirikan dua sekolah untuk orang-orang tionghoa yaitu sekolah THKK ( Tiong Hwa Kwe Kwan) yang berada di
dekat jembatan lama dan juga Chin.
Meisjesschool yang berada di jalan klenteng (Klenteng Straat).[10]
Klenteng
Tjoe Hwei Kiong Sebagai Pusat Peribadatan dan kegiatan Komuitas Tionghoa Kediri
Gambar 2.
Foto lama Klenteng Tjoe Hwie
Kiong
Sumber
: http://img.wongkediri.net/kediri-kuno/jalan-klenteng.jpg
Klenteng
Tjoe Hwie Kiong merupakan pusat peribadatan dan tempat berkumpul orang-orang
tionghoa di kediri. klenteng Tjoe Hwie Kiong ini juga merupakan satu-satunya
klenteng yang dimiliki komunitas tionghoa di kediri. Selain sebagai tempat untuk ibadah klenteng ini juga
merupakat tempat berkumpul dan tempat untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan
kecinaan. Di klenteng ini pula orang-orang cina melestarikan kebudayaannya.
salah satu kebudayaan atau kesenian yang
di jaga oleh klenteng ini ialah kesenian Wayang Potehi dan juga Barong sai.
Menurut slamet[11],
keberadaan kesenian wayang potehi ini telah ada sejak lama. Dijelaskan olehnya
bahwa sejak dia kecil wayang potehi ini telah dipertunjukkan pada acara-acara
tertentu seperti pada perayaan Imlek, perayaan kelahiran Makcow dsb.
Sebagai
pusat peribadatan klenteng ini akan ramai di kunjungi pada tanggal 1 dan 15
dalam tanggalan Cina. Selain itu pada acara-acara tertentu, klenteng ini juga
dijadikan sebagai pusat perayaan. Misalnya pada tahun baru imlek, pasti di
klenteng ini akan melakukan perayaan dan di saat itu pula orang-orang cina akan
bersama-sama berkumpul untuk merayakannya. Selain itu di klenteng ini juga
terdapat upacara arwah atau disebut upacara rebutan. Upacara arwah ini biasanya
di selenggarakan pada bulan ke delapan. Upacara arwah ini merupakan upacara
untuk mengirim doa kepada arwah leluhur agar dapat mencapai ketenangan di alam
sana. Pada upacara arwah ini dilakukan pula pembagian sembako kepada rakyat
miskin. Upacara arwah dan kegiatan pemberian sembako ini telah ada sejak lama. Dahulu
upacara arwah ini disebut pula upacara rebutan karena dahulu tiap kali di
adakan pembagian sembako, banyak masyarakat miskin yang datanguntuk
memperebutkannya. Namun kini untuk menghindari terjadinya rebutan bagi
penerimanya, maka sekarang pengurus membagi sembako dengan cara memberi keplek kepada orang-orang yang berhak.[12]
Keberadaan
klenteng Tjoe Hwie Kiong memang diakui telah menyimbolkan eksistensi keberadaan
orang tionghoa di kediri. Sejak lama mereka menetap di kota ini dan melakukan
aktifitas peribadahan di klenteng ini. Selain itu sejak dahulu klenteng ini
juga dijadikan sebagai tempat untuk melaksanakan perayaan-perayaan hari-hari
besar umat tionghoa. Sehingga klenteng ini telah menjadi bagian yang tidak bisa
dilepaskan dari keberadaan komunitas tionghoa dikediri.
Klenteng
kebanggaan komunitas tionghoa kediri ini telah mengalami empat kali pemugaran.
Beberapa kali pemugaran yang dilakukan ini tidak lain karena memang umur
klenteng ini yang sudah tua serta beberapa kali klenteng ini terkena bencana
banjir. Seperti banjir akibat luapan sungai Brantas yang melanda kota kediri di
tahun 1955 telah membuat klenteng ini terendam lebih dari ½ meter. Klenteng ini
memang langganan terendam banjir mengingat posisi klenteng yang berada tepat di
pinggir sungai brantas. Oleh karena itu klenteng ini pernah beberapa kali
dilakukan upaya peninggian tempat. Di jelaskan oleh Slamet bahwa klenteng ini
sudah pernah di lakukan pengurukan dan pengecoran beberapa kali. Menurut
pemaparannya, sekitar 1,5 meteran bangunan klenteng ini sudah masuk kedalam
tanah akibat proses peninggan dan pengurukan tanah tersebut.[13]
Klenteng
Tjoe Hwie Kiong memiliki bangunan lama yang menjadi banguan asli sejak
pendiriannya. Bangunan tersebut ialah bangunan lama tersebut ialah bangunan
yang menjadi tempat ibadah dan juga gapura pintu masuk menuju klenteng ini.
Kemudian klenteng ini juga memiliki beberapa bangunan baru dari hasil sumbangan
orang-orang tionghoa. Bangunanbaru tersebut seperti Gedung Mitra Graha yang di
resmikan tahun 1982. Dan gedung Pasada Graha yang di bangun tahun 2011 dan
merupakan sumbangan dari PT. Gudang Garam. Mitra graha sendiri digunakan
sebagai balai pertemuan sedangkan Pasada Graha sebagai gedung olah raga serta
memiliki pula aula yang cukup besar.[14]
Gambar 3.
Banguan utama sebagai tempat
sembahyang
Sumber :
Koleksi Pribadi
|
Gambar 4.
Gapura Klenteng Tjoe Hwie Kiong
Sumber : Koleksi
Pribadi
|
|
Gambar 5.
Gedung Mitra Graha
Sumber :
Koleksi Pribadi
|
Gambar 6.
Gedung Pasada Graha
Sumber :
Koleksi Pribadi
|
|
Kehidupan Komunitas Tionghoa Kediri sampai tahun
1990-an
Komunitas
tionghoa merupakan komunitas timur asing yang paling mendominasi di daerah
kediri. Dibandingkan golongan lain orang-orang tionghoa terlihat lebih
menonjol, bahkan di berbagai tempat keberadaan orang-orang tionghoa ini dapat
kita jumpai. Mata pencaharian yang mayoritas sebagai pedagang atau pemilik toko
kelontong membuat persebaran orang-orang tionghoa lebih dinamis. Dari masa
kolonial sampai saat ini kita akan banyak menemui toko-toko milik orang cina di
kediri.
Pada
masa kolonial banyak keluarga cina yang membuka toko-toko kelontong di jantung
kota kediri. Seperti di jalan dhoho, dahulu banyak pertokoan yang dikelola oleh
orang-orang cina. Salah satu toko milik keluarga cina yang masih ada sampai
saat ini ialah toko Soerabaja. Toko ini ialah milik keluarga Tan Khoen Swie
yakni tokoh tionghoa yang berhasil pula melakukan bisnis penerbitan buku di
kediri. Tan Khoen Swie merupakan tionghoa kelahiran Wonogiri pada 1884 dan meninggal di Kediri
1953.[15]
Sampai saat ini toko Soerabaya masih tetap bertahan, dan dikelola oleh generasi
ke empat.
Gambar 7.
Toko Soerabja
Sumber
: http://wongkediri.net/wp-content/uploads/2012/04/toko-tan-khoen-swie.jpg
Namun
seiring perkembangan zaman, banyak
toko-toko tionghoa yang berada di kawasan jl Dhoho yang lebih memilih untuk pindah kedaerah lain.
Hal ini dilakukan karena semakin mahalnya pajak yang ada, sehingga banyak
orang-orang tionghoa yang memilih pindah ketempat lain yang dirasa lebih
menguntungkan. Bahkan tak sedikit pula
yang memilih membuka toko-toko baru
di desa-desa di luar kawasan kota dengan mempertimbangkan keuntungan
yang dapat di raihnya.[16]
Pada
awal abad ke 19, pemerintah kolonial hindia belanda juga mengeluarkan
peraturan-peraturan untuk mengatur masyarakat kota. Salah satu peraturan yang
juga mengatur golongan tionghoa ialah peraturan mengenai pembagian tiga wilayah
untuk tiga golongan yaitu golongan eropa, golongan timur asing yang didalamnya
terdagat kelompok tionghoa, arab, india dan lainnya serta kelompok pribumi.
Untuk golongan tionghoa sendiri dilakukan pembentukan mayor dan kapiten Cina,
kemudian juga dikelurakan peraturan pas jalan untuk berpergian dari satu tempat
ketempat lainnya. Kebijakan pas jalan ini mengakibatkan ruang gerak masyarakat
tionghoa dalam mencari penghidupan saat ini
menjadi terbatas.[17]
Pada
masa selanjutnya yaitu masa pemerintahan jepang di indonesia, kehidupan
orang-orang tionghoa juga diatur dengan berbagai peraturan yang dikeluarkan
oleh pemerintah. Saat itu pemerintahan jepang yang sangat singkat mengeluarkan
undang-undang No. 7 yang dikeluarkan pada tanggal 11 April 1942. Pada peraturan
tersebut etnis tionghoa digolongkan sebagai bangsa asing dan oleh karena itu
mereka harus membayar pajak Bangsa Asing. Karena penggolongan tersebut, setiap
tionghoa dewasa yang hendak berpergian diwajibkan membawa kartu pengenal
sebagai orang asing dan juga harus membawa surat jalan.[18]
Ketika
indonesia telah merdeka, keberadaan etnis tionghoa juga menjadi salah satu yang
diperhatikan oleh pemerintah. Tidak berbeda dengan pemerintahan masa kolonial,
pemerintahan republik indonesia juga mengeluarkan beberapa kebijakan bagigolongongan
tionghoa. Kebijakan yang paling diskriminatif yang diterima oleh golongan
tionghoa berlangsung pada masa pemerintahan Orde baru. pada masa orde baru ini
pemerintah melakukan pelarangan terhadap semua kegiatan yang berbau kecinaan.
Etnis tionghoa diharuskan pula meninggalkan identitas serta kebudayaan
tionghoanya. Proses penghilangan identitas
tionghoa menjadi identitas indonesia dilakukan berdasarkan keputusan presidium kabinet No.
127/U/KEP/12/1996. Kebijakan yang antara lain menganjurkan semua warga tionghoa
untuk berganti nama dengan nama lokal tersebut kemudian dilaksanakan secara
efektif dan serentak.[19]
Selain
upaya penghilangan identitas kecinaan dan juga pembatasan terhadapkebudayaan
tionghoa, pemerintah orde baru juga melakukan penutupan terhadap
sekolah-sekolah cina, Seperti penutupan
sekolah THKK yang merupakan sekolah cina satu-satunya yang ada di kediri saat
itu. Dalam hal penggunaan bahasa, bahasa china dilarang digunakan, toko-toko
yang menggunakan nama cina harus di ganti dengan nama indonesia. Bagi
orang-orang tionghoa yang memakai nama cina juga di persulit ketika mereka
hendak mengurus sesuatu di pemerintahan. Sehingga saat itu banyak orang-orang
tionghoa yang berpindah nama. Pembatasan terhadap orang-orang cina ini terlihat
pula pada dunia pendidikan dan pekerjaan. Banyak orang-orang tionghoa yang
tidak bisa meneruskan pendidikan atau memperoleh pekerjaan dilingkup pemerintahan
dikarenakan latar belakang pendidikannya berasal dari lulusan sekolah cina. Sehingga
mereka harus mengulang pendidikan untuk bisa meneruskan ke jenjang yang lebih
tinggi.[20]
Pembatasan
terhadap orang-orang tionghoa berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa
pemerintahan suharto. Pada masa pemerintahan presiden Abdurrahman wahid lambat
laun diskriminasi terhadap orang-orang cina mulai di hapuskan. Pada masa Gusdur
pula hari raya imlek di tetapkan sebagai hari libur nasional. Kebijakan gusdur
dalam memberi perlakuan yang sama terhadap komunitas tionghoa telah memberi
kesenangan tersendiri bagi komunitas tionghoa di kediri serta komunitas
tionghoa di indonesia. Berkat kebijakan gusdur ini warga tionghoa bisa lebih
bebas dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Penggunaan bahasa china dapat
berkembang lagi, bahkan untuk sekolah-sekolah tertentu telah di kurikulumkan
mata pelajaran bahasa mandarin sebagai mata pelajaran tambahan.[21]
Terlepas
dari berbagai persoalan yang menimpa golongan tionghoa di kediri, baik dari
masa pemerintahan kolonial sampai pemerintahan indonesia, keberadaan mereka
tidak selamanya merugikan. Kegiatan golongan tionghoa yang mayoritas masuk
dalam bidang perekonomian terbukti telah memberi pengaruh yang besar terhadap
berjalannya roda perekonomian di kediri. sejak masa kedatangannya sampai masa
pemerintahan kolonial belanda, golongan tionghoa ini telah berhasil menduduki
posisi yang dominan dibidang perekonomian. Sehingga pada masa kolonial belanda
golongan tionghoa ini juga mendapatkan perhatian yang khusus dari pemerintah
belanda.
Saat
ini jumlah komunitas Tionghoa dikediri sudah sangat banyak, dan telah menyebar
dan berbaur dengan masyarakat lokal di kediri. Dari segi kehidupan sejak masa
pemerintahan Gus Dur, mereka telah mendapatkan kebebasan dan ruang gerak yang
luas didalam mencari penghidupan dan juga melakukan kegiatana kebudayaannya.
Dari segi aktifitasnya pun sudah berbaur jadi satu dengan penduduk lokal tanpa
adanya lagi pembedaan perlakuan, tempat tinggal dsb, sehingga hampir setiap saat
baik penduduk lokal dan tionghoa terjadi interaksi baik dalam hubungan
pekerjaan maupun kekerabatan. Namun tetap saja secara fisik tionghoaa peranakan
dapat kita lihat perbedaannya, biasanya
mereka berkulit putih dan memiliki mata yang sipit.[22]
Penutup
Seperti
halnya kota-kota lain, keberadaan etnis tionghoa juga menjadi bagian terpenting
dari perjalanan sejarah kediri. Sejak awal kedatangannya mereka sudah mulai
menyebar di kederi dan melakukan kegiatan perdagangan. Banyak diantara mereka
yang melakukan kegiatan perekonomian dengan membuka toko-toko kelontong untuk
keperluan sehari-hari masyarakat kediri. Dari kegiatan orang-orang tionghoa di
bidang ekonomi ini juga telah berperan dalam memutar roda perekonomian di
kediri saat itu.
Sebagai
golongan minoritas etnis tionghoa secara perlahan-lahan mampu menduduki posisi
dominan dibidang perekonomian. Banyak pertokoan tionghoa yang didirikan di kota
kediri, bahkan beberapa toko mampu memperlihatkan eksistensinya sampai saat
ini. Seperti contoh Toko Soerabja milik keluarga Tan Khoen swie, yang sampai
saat ini masih melakukan kegiatan perdagangan.
Pada
masa pemerintahan Hindia Belanda keberadaan etnis tionghoa ini menjadi salah
satu hal yang di perhatikan oleh pemerintah. Ketika Kediri di tetapkan sebagai Gemeente dilakukan pulaupaya pembagian wilayah bagi
tempat tinggal masyarakat kota kediri baik dari golongan timur asing, eropa dan
juga pribumi. Pada masa pemeriantahan kolonial Hindia belanda didirikan pula
sekolah-sekolah khusus untuk orang-orang tionghoa seperti THKK (Tiong Hwa Kwe Kwan) dan Chineesche
Meisjesschool. Kemudian untuk mengatur masyarakat tionghoa, pemerintah
belanda juga menunjuk seorang pemimpin sebagai opsir Tionghoa sebagai kapitein Chinees dan Luitenant Chinees.
Meskipun
demikian etnis Tionghoa seringkali mendapatkan perlakuan yang berbeda baik pada
masa pemerintahan kolonial maupun paska kemerdekaan. Perlakuan ini terkadang
juga menjurus pada pendiskriminasian terhadap golongan tionghoa tersebut.
Perlakuan berbeda atau diskriminasi terhadap etnis tionghoa di kediri terlihat
begitu kentara pada masa Orde Baru. sepanjang masa orde baru memang banyak
terjadi driskiminatif terhadag golongan Tionghoa di indonesia, bahkan sering
terjadi hubungan yang tak harmonis antara etnis tionghoa dengan penduduk lokal.
Keadaan yang demikian membuat pemerintah orde baru mengeluarkan undang-undang
yang membatasi segala hal kegiatan kecinaan. Dengan dikeluarkannya
undang-undang tersebut membuat etnis cina mau tidak mau meninggalkan identitas
kecinaannya. Di kediri pada masa orde baru ini dilakukan penutupan terhadap
sekolah-sekolah cina, kemudian juga dilakukan pelarangan melakukan kegiatan
yang berbau cina. Penggunaan bahasa cina tidak diperbolehkan dan etnis tionghoa
di kediri harus merubah nama cinanya menjadi nama indonesia.
Driskiminasi
terhadap golongan cina di kediri berakhir bersamaan dengan lengsernya
pemerintahan Orde baru. tepatnya pada masa pemerintahan gus Dur, undang-undang
yang membatasi kegiatan dan kebudayaan cina di hapuskan. Sejak saat itu komunitas
cina di kediri dan juga di daerah lainnya di indonesia mendapat kebebasan dalam
menjaga identitas serta kebudayaannya. Bahkan untuk menghargai entnis tionghoa,
tahun baru imlek juga dimasukkan dalam hari libur nasional.
DAFTAR
PUSTAKA
Artikel
dan Jurnal
Kristyowidi,
Belly Isayoga “Boekhandel Tan Khoen Swie 1915-1950an:
Nilai Kultural Dari Terbitan TKS”. Verleden Journal, Vol. 1, No.1, Desember 2012
Nilai Kultural Dari Terbitan TKS”. Verleden Journal, Vol. 1, No.1, Desember 2012
Wibowo,
Priyanto “Tionghoa dalam Keberagaman
Indonesia : Sebuah Perspektif Historis tentang Posisi dan Identitas”, dalam Prosiding The 4th International Coference on
Indonesian Studies : “Unity, Diversity and Future”.
Widiani,
Ika .Adaptasi
Beragama Etnis Tionghoa di Tuban 1967-197. Skripsi tidak di terbitkan pada
universitas Airlangga Surabaya, 2011
Buku
Noordjanah,
Andjarwati. Komunitas Tionghoa di
Surabaya. Yogyakarta : Ombak, 2010
Website
http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/detail/form/advanced?q_searchfield=hoofdplaats+kediri
http://wongkediri.net/wp-content/uploads/2012/04/toko-tan-khoen-swie.jpg
Wawancara
1.
Nama : Slamet
Alamat :
Umur :
Peran : Juru kunci Klenteng Tjoe Hwie
Kiong
2.
Nama : The Swie Hoo
Alamat : Balongrote Kediri
Umur :74 Th
Peran : Anggota pengurus Klenteng Tjoe
Hwie Kiong
[1] Rahmad Rijkana, Pergulatan
Mencari Identitas : Etnis Tionghoa Di Kapasan Boen Bio Surabaya Tahun 1945-1968,
Skripsi tidak di terbitkan pada universitas Airlangga Surabaya, 2011 hlm.
24-25.
[2] Andjarwati Noordjanah, Komunitas
Tionghoa di Surabaya. (Yogyakarta : Ombak, 2010). Hlm., 37-38.
[3] Ibid., Hlm. 39.
[4] Wawancara dengan Slamet, 5
januari 2014
[5]
http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/detail/form/advanced?q_searchfield=hoofdplaats+kediri
[6] Istilah klenteng muncul berdasarkan bunyi genta kecil “klinting-klinting”
dan Genta besar “klonteng-klonteng” yang sering dibunyikan dalam rumah ibadah
masyarakat tionghoa. Berdasarkan bunyi yang terdengar tersebut kemudian untuk
mempermudah penyebutan tempat ibadah umat tionghoa tersebut maka muncul istilah
Klenteng.
[7] Wawancara dengan The Swie Hoo, 5
januari 2014
[8]
http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/detail/form/advanced?q_searchfield=hoofdplaats+kediri
[9] Wawancara dengan The Swie Hoo, 5
januari 2014
[10]
http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/detail/form/advanced?q_searchfield=hoofdplaats+kediri
[11] Juru Kunci Klenteng Tjoe Hwie
Kiong
[12] Wawancara dengan Slamet, 5
januari 2014
[13] Wawancara dengan The Swie Hoo, 5
januari 2014
[14] Wawancara dengan The Swie Hoo, 5
januari 2014
[15]
Belly Isayoga Kristyowidi, “Boekhandel Tan Khoen Swie 1915-1950an:
Nilai Kultural Dari Terbitan TKS”. Verleden Journal, Vol. 1, No.1, Desember 2012
Nilai Kultural Dari Terbitan TKS”. Verleden Journal, Vol. 1, No.1, Desember 2012
[16] Wawancara dengan The Swie Hoo, 5
januari 2014
[17] Priyanto Wibowo, “Tionghoa dalam
Keberagaman Indonesia : Sebuah Perspektif Historis tentang Posisi dan
Identitas”, dalam Prosiding The 4th International Coference on Indonesian
Studies : “Unity, Diversity and Future”. Hlm. 645.
[18] Ibid., 646.
[19] Ibid., 646.
[20] Wawancara dengan The Swie Hoo, 5
januari 2014
[21] Wawancara dengan Slamet, 5
januari 2014
[22] Wawancara dengan The Swie Hoo, 5
januari 2014
+ komentar + 1 komentar
Dari sumber2 diatas, apakah saya boleh meminta artikel sumber tersebut?
Posting Komentar