TANTANGAN PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA
Oleh :
M.Saichudin
Email : m.saichudin1@gmail.com
Pendahuluan
Pengentasan kemiskinan masih menjadi tantangan terbesar bagi Indonesia di Era Ekonomi Global. Terlebih jika melihat jumlah penduduk miskin di Indonesia masih terbilang tinggi yaitu sebesar 28,51 juta orang pada tahun 2015. Jumlah tersebut lebih besar dari jumlah tahun sebelumnya (2014) yaitu hanya sebesar 27,73 juta orang (BPS). Masalah kemiskinan ini tidak boleh dipandang sebelah mata, mengingat kemiskinan telah banyak menjerumuskan masyarakat lapisan bawah kedalam jurang kemiskinan.
Berbagai program pengentasan kemiskinan sebetulnya telah banyak dijalankan oleh pemerintah pada tahun 2015. Hal ini terlihat dari penurunan angka kemiskinan, sebesar 0,08 juta orang dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada Maret 2015 yang mencapai 28,59 juta orang. Walaupun angka kemiskinan telah mengalami penuruan dalam rentang enam bulan terakhir, namun upaya pengentasan kemiskinan harus terus dijalankan dengan lebih baik lagi. Sehingga tingkat kemiskinan di Indonesia bisa terus dikurangi.
Ukuran yang dijadikan keseriusan permasalahan yang harus segera diatasi pemerintah terkait kemiskinan tidak hanya dilihat dari data kuantitatif tentang angka kemiskinan. Lebih dari itu, kemiskinan harus dipandang sebagai permasalahan sosial yang luar biasa yang telah menjerumuskan banyak manusia kedalam kesengsaraan. Sehingga untuk perioritas penyelesaian masalah tersebut tidak menunggu nilai kuantitas dari kemiskinan yang meningkat, namun jikalau ada satu orang saja yang masuk/berada dalam jurang kemiskinan harus segera di entaskan.
Pada akhir tahun 2015 angka kemiskinan di beberapa provinsi di Indonesia masih sangat besar. Provinsi Jawa Timur menjadi daerah dengan jumlah penduduk miskin tertinggi yaitu mencapai 4.775.970 orang. Selanjutnya diikuti oleh provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat, masing-masing dengan jumlah penduduk miskin sebesar 4.505.780 orang dan 4.485.650 orang (BPS).
Permasalahan lain yang dihadapi Indonesia selain tingginya jumlah penduduk miskin, yaitu permasalahan distribusi pendapatan yang semakin timpang. Kesenjangan pendapatan diantara masyarakat khusunya antara orang kaya dengan orang miskin di perkotaan semakin tinggi pada tahun 2015. Salah satu indikator yang sering digunakan untuk mengukur distribusi pendapatan yaitu Rasio Gini.Rasio Gini adalah ukuran yang digunakan untuk melihat ketimpangan pendapatan secara keseluruhan yang angkanya bergerak antara 0 hingga 1. Angka 0 menunjukkan pemerataan pendapatan yang sempurna, sedangkan angka 1 menunjukkan ketimpangan pendapatan yang sempurna. Sehingga jika angka rasio gini mendekati 0 menujukkan distribusi pendapatan semakin sempurna, sebaliknya jika mendekati 1 menunjukan distribusi pendapatan yang semakin timpang.
Rasio Gini perkotaan pada periode sepember 2015 sebesar 0,47. Angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya hanya sebesar 0,43. Meningkatnya angka rasio gini diperkotaan menunjukan bahwa ketimpangan pendapatan penduduk di perkotaan semakin tinggi. Kondisi yang sebaliknya terjadi di pedesaan dimana rasio gini mengalami penurunan dari 0,34 pada september 2014, menjadi 0,27 pada september 2015. (Kompas,5/02/16)
Ketimpangan pendapatan di perkotaan yang semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk miskin di perkotaan. Jumlah penduduk miskin di perkotaan pada september 2014 sebanyak 10,36 juta orang, dan mengalami peningkatan pada september 2015 menjadi 10,62 juta orang. Peningkatan jumlah penduduk miskin dan ketimpangan pendapatan di perkotaan disinyalir disebabkan oleh semakin derasnya arus urbanisasi, sementara lapangan pekerjaan tidak mampu mendukung para pencari kerja dari desa.
Jika dilihat pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama kurun waktu lima belas tahun terakhir menunjukkan pertumbuhan yang baik. Namun pertumbuhan ekonomi tersebut tidak serta merta menggambarkan kemakmuran seluruh masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat ternyata tidak diikuti oleh berkurangnya penduduk miskin secara signifikan. Bahkan kenaikan pertumbuhan ekonomi berbanding terbalik dengan meningkatnya ketimpangan pendapatan diantara masyarakat.
Banyak studi menunjukkan bahwa telah terjadi kesenjangan pendapatan dari tahun ketahun. Kesenjangan pendapatan juga selalu menyertai pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.Studi yang dilakukan Ahsan (1997) menunjukkan bahwa distribusi pendapatan di Indonesia tidak merata/timpang walaupun telah terjadi peningkatan pendapatan per kapita dari tahun-ketahun.Studi yang juga dilakukan Hariadi et al.,(2008) menyimpulkan bahwa terjadi kecenderungan peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan antar rumah tangga di Kabupaten Banyumas. Sementara itu Syawie (2011) menjelaskan bahwa masih terjadi kesenjangan kesejahteraan antara orang-orang desa dengan orang-orang kota. Bahkan jika dilihat dari beberapa indikator menunjukkan kesenjangan yang cukup mencolok, meskipun kesejahteraan telah mengalami perbaikan.
Realitas tentang kemiskinan dan kesenjangan sosial masih manjadi permasalahan sosial yang dihadapi Indonesia sampai saat ini. Bahkan permasalahan tersebut sulit diatasi dan semakin meluas. Untuk itu, permasalahan kemiskinan dan kesenjangan sosial masih menjadi kajian penting di Indonesia. Berpijak dari realitas tersebut, maka dapat diambil beberapa rumusan masalah yang akan di kaji dalam artikel ini. Pertama, bagaimana potret kemiskinan yang di hadapi Indonesia sampai saat ini?; kedua, mengapa peningkatan pertumbuhan ekonomi dan tidak mendorong pemerataan kesejahteraan?, ketiga, bagaimana Tantangan yang dihadapi Indonesia dalam upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan sosial?
PEMBAHASAN
Mengatasi masalah kemiskinan sesungguhnya bukan perkara yang mudah. Hal ini dikarenakan kemiskinan merupakan permasalahan yang sangat kompleks, yang mana akar penyebab kemiskinan seperti benang ruwet yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Apa yang dimaksud kemiskinan bukan hanya sekedar kekurangan pendapatan yang membuat keluarga miskin tidak mampu memenuhi keutuhan dasar, namun juga menyangkut masalah kerentanan dan ketidak berdayaan keluarga miskin dalam kegiatan ekonomi.
Kerentanan menunjukan keadaan masyarakat miskin yang rawan terjerumus dalam kungkungan kemiskinan, ketika menemui situasi krisis seperti gagal panen, harga kebutuhan pokok melambung, dan masalah kesehatan. Situasi krisis tersebut seringkali membuat mereka harus terlilit hutang dengan bunga tinggi, bahkan tak jarang mereka harus menjual aset produksinya. Sehingga keadaan krisis yang menimpa masyarakat miskin akan semakin membuat mereka tidak berdaya.
Ketidakberdayaan masyarakat miskin terlihat dalam berbagai situasi yang sering menjadikan mereka sebagai korban kepentingan penguasa sarana ekonomi. Mereka juga kurang mampu menikmati program pembangunan, bahkan hanya menjadi korban pembangunan yang dijalankan pemerintah. Tidak dapat di pungkiri, berbagai program pembangunan saat ini, yang mengutamakan pembangunan berbagai infrasruktur sebenarnya hanya mampu direspon oleh masyarakat menengah keatas dan kelompok pengusaha. Sementara bagi masyarakat miskin yang telah terperangkap dalam jurang kemiskinan tentu tak mendapat manfaat apapun. Jangankan untuk menikmati sarana dan prasarana tersebut, untuk bisa keluar dari jurang kemiskinan saja sudah sangat sulit.
Berbagai program pengentasan kemiskinan yang telah dan sedang dijalankan juga seringkali dipermainkan oleh elit penguasa. Program-program seperti Bantuan uang tunai dan Raskin, banyak yang tidak tepat sasaran. Bantuan yang seharusnya hanya diperuntukkan bagi keluarga miskin sering juga dinikmati oleh masyarakat yang tidak tergolong miskin. Untuk bantuan uang tunai terdapatnya kasus penerima tidak tepat sasaran dikarenakan tidak adanya pembaharuan data tentang kemiskinan di tingkat desa. Sementara untuk Raskin sering ditemui kasus penyamarataan penerima. Dalam arti lain yaitu raskin tidak hanya diperuntukkan bagi keluarga miskin, namun dibagi rata keseluruh warga desa. Hal tersebut tentu saja merupakan kekeliruan dan menjadikan ketidakadilan bagi masyarakat miskin. Kasus-kasus seperti ini lah yang menunjukkan ketidak berdayaan masyarakat miskin. Mereka sering diperlakuka tidak adil oleh oknum-oknum / elit penguasa yang dengan seenaknya mengelola bantuan secara tidak adil.
Potret Masalah Kemiskinan di Indonesia sampai Saat Ini
Kemiskinan selalu menjadi masalah yang menyita banyak perhatian negara negara dunia ketiga, tak terkecuali negara Indonesia. Kemiskinan seakan telah menjadi momok yang menakutkan, yang setiap saat dapat menjerumuskan masyarakat miskin kedalam perangkap kemiskinan. Meski telah banyak program pengentasan kemiskinan yang dijalankan pemerintah, namun bagaimanapun masalah kemiskinan belum sepenuhnya bisa diatasi. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2015 mencapai 28,51 juta orang. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada Maret 2015, maka telah mengalami penurunan 0,08 juta orang. Sementara jika dibandingkan dengan September 2014 jumlah penduduk mengalami kenaikan sebanyak 0,78 juta orang.
Jumlah dan Presentase Penduduk Miskin
Menurut Daerah, September 2014-September 2015
Daerah/Tahun
|
Jumlah Penduduk Miskin (Juta Orang)
|
Presentase penduduk miskin
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
Perkotaan
| ||
September 2014
|
10,36
|
8,16
|
Maret 2015
|
10,65
|
8,29
|
September 2015
|
10,62
| |
Pedesaan
| ||
September 2014
|
17,37
|
13,76
|
Maret 2015
|
17,94
|
14,21
|
September 2015
|
17,89
| |
Perkotaan + Pedesaan
| ||
September 2014
|
27,73
|
10,96
|
Maret 2015
|
28,59
|
11,22
|
September 2015
|
28,51
| |
Walaupun pada periode September 2015 jumlah penduduk miskin di Indonesia sedikit mengalami penuruan, namun harus dicatat bahwa jika dibandingkan dengan periode September tahun 2014 telah mengalami banyak peningkatan (0,76 juta orang). Peningkatan jumlah penduduk miskin pada periode September 2014-Maret 2015 disinyalir disebabkan oleh terjadinya inflasi sebesar 4,03%. Efek yang ditimbulkan dari inflasi tersebut yaitu naiknya harga kebutuhan pokok seperti beras sebesar 14.48%, cabe rawit sebesar 26,28% dan gula pasir sebesar 1,92%.(Sumber BPS).
Angka kemiskinan yang masih tinggi di Indonesia menunjukkan bahwa kesejahteraan masyarakat belum tercapai sepenuhnya. Negara yang seharusnya menjadi salah satu pihak yang paling bertanggungjawab terhadap kesejahteraan warganya, ternyata belum bisa mengentaskan kemiskinan dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Berbagai program pembangunan yang dijalankan pemerintah pun sebetulnya kurang berpihak pada golongan masyarakat lapisan bawah. Bagaimanapun pembangunan berbagai sarana penunjang perekonomian seperti infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan, pasar telah menunjang pertumbuhan ekonomi negara. Namun perlu dimengerti bahwa yang mendapat manfaat dari pembangunan tersebut bukanlah masyarakat miskin. Masyarakat miskin cenderung idak dapat merespon manfaat dari pembangunan tersebut.
Pembangunan berbagai sarana penunjang perekonomian sebetulnya hanya dapat direspon oleh golongan pengusaha besar, yang memiliki mobilitas tinggi. Dengan pengembangan infrastrukur jalan akan membuat arus distribusi barang akan semakin mudah dan cepat. Imbasnya yaitu pada efisiensi waktu dan biaya yang harus dikeluarkan oleh pengusaha. Namun hal tersebut jelas menunjukkan bahwa manfaat terbesar diperoleh para pengusaha besar yang notabene sebagai golongan orang kaya. Sementara bagi kalangan masyarakat miskin kurang mendapatkan imbas dari pembangunan. Walaupun arus distribusi barang semakin lancar, namun harga-harga barang kebutuhan pokok belum tentu lebih murah.
Pertumbuhan Ekonomi Meningkat : Apakah Kemiskinan dan Kesenjangan Berkurang?
Pembangunan infrastruktur penunjang perekonomian memang akan mendorong pertumbuhan ekonomi negara yang tinggi. Namun perlu digaris bawahi, bahwa peningkatan/pertumbuhan ekonomi yang tingi tidak berarti kemiskinan berkurang. Yustika (2014) menyatakan bahwa penambahan pertumbuhan ekonomi tidak sejalan dengan penambahan lapangan kerja. Padahal lapangan kerja menjadi salah satu faktor penting dalam pengentasan pengangguran dan kemiskinan. Pembangunan ekonomi negara yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi akan berdampak buruk yaitu :
1. Terjadi kesenjangan yang semakin tinggi antara sektor formal dan informal
2. Terjadinya disparitas pendapatan yang semakin tinggi
3. Melemparkan sebagian orang dari akses ekonomi, khususnya pengusaha kecil dan masyarakat miskin.
Masalah kemiskinan di Indonesia sebetulnya dipengaruhi oleh model pembangunan yang dijalankan negara. Secara historis dapat dilihat bahwa pada masa orde baru model pembangunan yang dijalankan Indonesia sangat menekankan pertumbuhan ekonomi. Proses pembangunan masa orde baru ditandai dengan dijalankannya Repelita 1-6, dimana Repelita pertama dijalankan mulai tahun 1969. Model pembangunan pada masa orde baru jelas berspektif neoliberalis. Model pembangunan tersebut memang menjadi trend pada tahun 1960-an.
Demi mencapai pertumbuhan ekonomi negara yang tinggi, maka diperlukan akumulasi modal (kapital), dan ini diwujudkan dengan adanya berbagai investasi pada masa orde baru. Cara untuk meningkatkan investasi tersebut yaitu dengan industrialisasi. Maka ketika itu lahirlah UU PMA tahun 1967, yang memungkinkan masuknya modal asing ke Indonesia. Sehingga sejak pemerintahan orde baru industrialisasi berkembang pesat.
Puncak dari pertumbuhan ekonomi masa ordebaru terjadi pada tahun 1994 dimana pertumbuhan ekonomi indonesia mencapai 7,34%. Pertumbuhan ekonomi tersebut ditandai dengan peningkatan pendapatan perkapita yang sangat besar yaitu, US$75 pada tahun 1967 menjadi US$778. Keberhasilan tersebut tidak lain disebabkan oleh keberhasilan transformasi ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah orde baru. Yang mana pada tahun 1967 kontribusi sektor pertanian terhadap PDB sebesar 51,8%, sedangkan kontribusi sektor industri hanya sebesar 8,4%. Pada tahun 1993 kontribusi sektor pertanian terhadap PDB menurun drastis menjadi 22,9%, sedangkan kontribusi sektor industri pengolahan meningkat pesat menjadi 22,3% (BPS).
Secara makro program pembangunan pada masa Orde Baru melalui desain pembangunan lima tahunan (PELITA) 1-6 berhasil. Melalui Repelita tersebut target-target pertumbuhan ekonomi berhasil dicapai. Namun jika dilihat secara mikro sebetulnya program pembangunan tidaklah berhasil sepenuhnya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kesenjangan yang semakin lebar antara penduduk kaya dan penduduk miskin. Walaupun pertumbuhan ekonomi dicapai, tetapi kemiskinan semakin meluas.
Semakin meluasnya proporsi penduduk miskin di indonesia menunjukkan bahwa model pembangunan yang dijalankan pada masa orde baru kurang sesuai dalam upaya pengentasan kemiskinan. Model pembangunan yang terlalu mengedepankan pertumbuhan ekonomi telah berdampak buruk yang mengakibatkan meluasnya kemiskinan. Model pembangunan yang menekankan padapertumbuhan ekonomi juga dianggap tidak Fair dan tidak adil bagi kelas menengah kebawah.
Untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat seharusnya berbagai kebijakan pembangunan harus bertumpu pada masyarakat itu sendiri. Pembangunan tidak semata-mata untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan perkapita, melainkan untuk menciptakan pemerataan distribusi pendapatan. Sehingga kesenjangan pendapatan akan dapat dikurangi dan kesejahteraan masyarakat bisa tercapai.
Jika menengok kondisi Indonesia saat ini, maka negara ini masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang perlu diselasaikan, tak terkecuali masalah kemiskinan. Kemiskinan masih menjadi tantangan terbesar bagi negara yang perlu segera di atasi. Sehingga kemiskinan yang telah menjadikan derita kehidupan mayarakat kelas bawah (Underclass) dapat diberantas. Dan negara yang paling bertanggung jawab terhadap kesejahteraan penduduknya segera mampu memberikan penghidupan yang layak khususnya masyarakat miskin.
Meluasnya Ketimpangan di Indonesia
Pertumbuhan ekonomi indonesia tahun 2015 mengalami peningkatan. Pada triwulan III tahun 2015, ekonomi Indonesia telah mengalami pertumbuhan sebesar 4,73 persen dibandingtriwulan III tahun 2014 (BPS). Mengutip laporan World Bank, menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang kuat. Namun pertumbuhan ekonomi tersebut tidak menjamin jumlah penduduk miskin berkurang. Bahkan ketimpangan distribusi pendapatan pada tahun 2015 telah mengalami peningkatan.
Pertumbuhan ekonomi tidak bisa dijadikan indikator kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan oleh pertumbuhan ekonomi sebetulnya hanya merupakan indikator perkembangan perekonomian secara makro. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menunjukkan bahwa pendapatn perkapita juga tinggi. Namun pendapatan perkapita hanyalah rata-rata pendapatan masyarakat. Pendapatan perkapita tidak mencerminkan pendapatan sebenarnya yang diterima tiap masyarakat. Jika dilihat secara perorangan tentu distribusi pendapatan diantara masyarakat sangat timpang.
Pada tahun 2015 ketimpangan di perkotaan Indonesia mengalami penigkatan. Rasio gini perkotaan sebagai indikator ketimpangan menunjukan peningkatan dari tahun sebelumnya. Rasio gini perkotaan meningkat dari 0,43 pada september 2014 menjadi 0,47 per september 2015. (Kompas, 5/02/16). Meluasnya ketimpangan pendapatan penduduk perkotaan juga sebanding dengan meluasnya jumlah penduduk miskin di perkotaan. Data kemiskinan dari BPS menunjukkan bahwa, jumlah Penduduk miskin di perkotaan pada tahun 2014 sebesar 10,36 juta orang, dan meningkat menjadi 10,62 juta orang pada 2015.
Pertumbuhan ekonomi tidak serta merta menggambarkan kemakmuran masyarakat. Jika dicermati, pertumbuhan ekonomi hanya menunjukkan kemakmuran sebagian masyarakat khususnya kelas atas. Hal tersebut sejalan dengan laporan World Bank, yang menyatakan bahwa manfaat pertumbuhan ekonomi lebih banyak dinikmati oleh 20% masyarakat terkaya di Indonesia. Sementara sekitar 80% penduduk atau lebih dari 205 juta orang,kurang menikmati pertumbuhan ekonomi dan bahkan berada dalam garis kemiskinan.
Tingkat ketimpangan di Indonesia relatif lebih tinggi dan naik lebih pesat dibanding banyak negara Asia Timur lain. Dilihat dari tingkat konsumsi masyarakat, antara tahun 2003 hingga 2010 menunjukan ketimpangan yang semakin besar. Sebanyak 10% penduduk terkaya di Indonesia memperlihatkan konsumsi yang terus meningkat hingga 6% per tahun. Sebaliknya bagi 40% penduduk termiskin, tingkat konsumsi hanya mengalami pertumbuhan kurang dari 2% per tahun. Hal tersebut telah mengakibatkan kenaikan rasio gini secara pesat dalam kurun waktu 15 tahun terakhir. Rata-rata Rasio Gini nasional pada tahun 1999 sebesar 0,31 dan meningkat pesat menjadi 0,41 pada tahun 2015 (BPS).
Sumber pertumbuhan ekonomi tersebut masih didominasi oleh tiga lapangan usaha utama yaitu Industri pengolahan; Konstruksi; informasi dan komunikasi; serta pertanian, kehutanan dan perikanan. Industri pengolahan memiliki sumber pertumbuhan tertinggi sebesar 0,92%, di ikuti Konstruksi sebesar 0,65%; Informasi dan komunikasi sebesar 0,48%, dan pertanian, kehutanan dan perikanan sebesar 0,46%. (BPS)
Tantangan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia
Tidak dapat di pungkiri bahwa pengentasan kemiskinan di Indonesia bukan perkara mudah seperti membalikan telapak tangan. Kemiskinan merupakan permasalahan sosial multidimensi, dimana akar permasalahan kemiskinan tidak berasal dari satu aspek. Selain itu permasalahan kemiskinan juga dapat dikatakan sebagai permasalahan ekonomi berbiaya tinggi. Maksudnya dalam upaya pengentasan kemiskinan tidak hanya membutuhkan niat dan keseriusan, namun juga membutuhkan biaya yang tidak murah.
Pengentasan kemiskinan di Indonesia menjadi semakin berat karena jumlah proporsi penduduk miskin begitu besar. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang semakin membaik juga tidak serta merta mengurangi angka kemiskinan. Angka kemiskinan tetap saja tinggi, bahkan kesenjangan pendapatan semakin tinggi.
Berbagai upaya/strategi pengentasan kemiskinan sebetulnya telah dijalankan oleh pemerintah setiap tahunnya. Akan tetapi program-program pengentasan kemiskinan tersebut belum bisa mengatasi kemiskinan secara signifikan. Hal ini bukan karena program pengentasan kemiskinan yang tidak sesuai, ataupun dana yang digelontorkan tidak mencukupi. Kegagalan dari berbagai upaya pengentasan kemiskinan lebih disebabkan oleh permasalahn strktural, dan juga adanya berbagai kecurangan dalam program pengentasan kemiskinan.
Berikut ini beberapa tantangan yang dihadapi Indonesia dalam pengentasan Kemiskinan:
Jumlah penduduk miskin yang sangat besar.
Proporsi penduduk miskin yang begitu besar menjadi salah satu tantangan terbesar bagi negara ini. Hal ini karena jumlah penduduk miskin yang besar juga akan membutuhkan dana yang besar pula dalam upaya mengatasi kemiskinan tersebut. Sampai akhir tahun 2015, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,51 juta orang.
Semakin tingginya disparias pendapatan
Kesenjangan pendapatan yang semakin tinggi menjadi catatan buruk dalam upaya pengentasan kemiskinan. Walaupun sebetulnya negara yang memiliki pemerataan pendapatan yang baik jarang ditemui, sekalipun negara maju. Namun perlu dijadikan perhatian bahwa pemerataan pendapatan menjadi salah satu indikator kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia sendiri pemerataan pendapatan masih menjadi persoalan yang besar. Mengingat pada tahun 2015 kesenjangan pendapatan di perkotaan indonesia semakin tinggi.
Kesenjangan pendapatan yang tinggi menggambarkan bagaimana sumberdaya ekonomi di Indonesia belum bisa dioptimalkan oleh seluruh masyarakat. seperti kita ketahui bersama bahwa di Indonesia hanya beberapa orang saja yang bisa merespon pembangunan dan sumber permodalan. Orang-orang tersebut yaitu para pengusaha dari golongan menengah keatas. Sementara bagi kelas bawah termasuk masyarakat miskin tidak memiliki akses untuk hal tersebut. Sehingga sudah jelas bahwa “yang kaya akan semakin kaya, dan yang miskin akan semakin miskin”.
Kecurangan-kecurangan dalam penyelenggaraan Program pengentasan kemiskinan
Salah satu faktor yang menjadikan program pengentasan kemiskinan gagal yaitu adanya berbagai kecurangan dalam penyelenggaraannya. Hal ini telah menjadi dilematis karena praktek-praktek korupsi dilakukan pada program-program kemanusian. Adanya berbagai kecurangan seperti korupsi, menjadikan dana-dana yang seharusnya digunakkan untuk membantu dan memberdayakan masyarakat miskin bocor dan hilang sia-sia.
Isolisasi Penduduk miskin terhadap sumber-sumber permodalan.
Sering kali masyarakat miskin terkendala dalam mencari pinjaman modal usaha. Persyaratan yang rumit dan jaminan yang tidak dapat dipenuhi oleh penduduk miskin membuat mereka tidak dapat mengakses sumber-sumber permodalan. Sehingga yang sering terjadi adalah tersangkutnya para penduduk miskin pada pinjaman-pinjaman non-formal dengan bunga yang tinggi seperti rentenir.
Tidak mampunya masyarakat miskin dalam beradaptasi dengan program pembangunan perkembangan zaman.
Sejatinya berbagai program pembangunan yang diselenggarakan pemerintah adalah untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Program bembangunan yang dijalankan memang secara makro berhasil, yaitu dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi negara. Namun jika dicermati secara lebih dalam, terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut hanya disumbangkan oleh para pengsaha besar/ menengah ke atas. Karena hanya para pengusaha menengah keatas lah yang mempu merespon pembangunan misalnya prasarana jalan dan jembatan. Sementara bagi para pengusaha kecil seperti golngan masyarakat miskin kurang mampu mendapatkan imbas dari pembangunan tersebut. Hal ini dikarenakan oleh skala usaha yang kecil dengan lingkup lokal sebenarnya program pembangunan yang paling dibutuhkan adalah bantuan permodalan/ alat-alat produksi.
KESIMPULAN
Pengentasan kemiskinan masih menjadi tantangan terbesar bagi Indonesia. Jumlah penduduk miskin di Indonesia masih terbilang tinggi yaitu sebesar 28,51 juta orang pada tahun 2015. Pada akhir tahun 2015 angka kemiskinan di beberapa provinsi di Indonesia masih sangat besar. Provinsi Jawa Timur menjadi daerah dengan jumlah penduduk miskin tertinggi yaitu mencapai 4.775.970 orang. Selanjutnya diikuti oleh provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat, masing-masing dengan jumlah penduduk miskin sebesar 4.505.780 orang dan 4.485.650 orang.
Permasalahan lain yang dihadapi Indonesia selain tingginya jumlah penduduk miskin, yaitu permasalahan distribusi pendapatan yang semakin timpang. Kesenjangan pendapatan diantara masyarakat khusunya antara orang kaya dengan orang miskin di perkotaan semakin tinggi pada tahun 2015. Rasio Gini perkotaan pada periode sepember 2015 sebesar 0,47. Angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya hanya sebesar 0,43.
Jika dilihat pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama kurun waktu lima belas tahun terakhir menunjukkan pertumbuhan yang baik. Namun pertumbuhan ekonomi tersebut tidak serta merta menggambarkan kemakmuran seluruh masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat ternyata tidak diikuti oleh berkurangnya penduduk miskin secara signifikan. Bahkan kenaikan pertumbuhan ekonomi berbanding terbalik dengan meningkatnya ketimpangan pendapatan diantara masyarakat. Angka kemiskinan yang masih tinggi di Indonesia menunjukkan bahwa kesejahteraan masyarakat belum tercapai sepenuhnya. Negara yang seharusnya menjadi salah satu pihak yang paling bertanggungjawab terhadap kesejahteraan warganya, ternyata belum bisa mengentaskan kemiskinan dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Beberapa permasalahan kemiskinan yang di hadapai Indonesia saat ini yaitu : (1) Jumlah penduduk miskin yang sangat besar; (2) Semakin tingginya disparias pendapatan; (3) Kecurangan-kecurangan dalam penyelenggaraan Program pengentasan kemiskinan; (4) Isolisasi Penduduk miskin terhadap sumber-sumber permodalan; (5) Tidak mampunya masyarakat miskin dalam beradaptasi dengan program pembangunan, dsb.
DAFTAR PUSTAKA
Abercrombie, Nicholas, Stephen Hill, Bryan S. Turner. 2010. Kamus Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suyanto, Bagong. 2013. Anatomi Kemiskinan dan Strategi Penanganannya. Malang : In-Trans Publishing
Suyanto, Bagong & Karnaji. 2005. Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial: Ketika Pembangunan Tidak Memihak kepada Rakyat Miskin. Surabaya: Airlangga University Press
Syawie, Mochamad. Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial. (Informasi/Vol.16/ No.3 tahun 2011)
Hariadi, Pramono, dkk. Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Kabupaten Banyumas Jawa tengah. Jurnal Ekonomi Pembangunan Univ.Jenderal Soedirman.
Hasan, Agus.1997.Pengaruh Distribusi Pendapatan Tidak Merata Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia.Bina Ekononi/Juli/1997.
Harian Kompas, (terbit tanggal 5/02/16)
www.worldbank.org/in/news/feature/2015/12/08/indonesia-rising-divide